Page

Jumat, 27 Juli 2012

9 HAL YANG DIANGGAP “MEMBATALKAN PUASA” : Karena lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, Muntah tidak sengaja, Menelan ludah, Keluar darah, Obat suntik, Mencium/memeluk isteri, Memakai minyak wangi, Menyiram kepala, Mencicipi masakan/makanan

9 HAL YANG DIANGGAP “MEMBATALKAN PUASA” : Karena lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, Muntah tidak sengaja, Menelan ludah, Keluar darah, Obat suntik, Mencium/memeluk isteri, Memakai minyak wangi, Menyiram kepala, Mencicipi masakan/makanan

Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama, namun ada pula hanya sekedar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak dibangun di atas dalil.
Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan yang dibawakan nantinya sebagian besar diambilkan dari kitab Fatawa Ramadhan -cetakan pertama dari penerbit Adhwaa’ As-salaf- yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in.
Di antara faidah yang bisa kita ambil dari kitab tersebut adalah:
1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, maka tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya seperti orang yang menjalankan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata: “Dan pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa) dan bermaksud melakukannya (bukan karena terpaksa).” Kemudian beliau rahimahullah membawakan beberapa dalil, di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah k telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Ya Allah janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (Al-Baqarah: 286)
(Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di Shahih Muslim).
Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat An-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/426-428)
Dan yang dimaksud oleh Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. (Lihat fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435)
2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:
“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Al-Irwa’ no. 930)
Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak berusaha memuntahkan apa yang ada dalam perutnya dengan sengaja, karena hal ini akan membatalkan puasanya. Dan jangan pula dia menahan muntahnya karena inipun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. (Fatawa Ramadhan, 2/481)
3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
“Tidak mengapa untuk menelan ludah dan saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak maka wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”
4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit tidaklah membatalkan puasa. Berkata Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam beberapa fatwanya:
a. “Keluarnya darah di gigi tidaklah mempengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak ditelan…”.
b. “Pengetesan darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya maka tidak apa-apa…”.
c. “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak apabila berakibat dengan akibat yang sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)…” (Fatawa Ramadhan, 2/460-466).
Maka orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).
Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari dan yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.
5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman.
Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena dia berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. (Fatawa Ramadhan, 2/510-511)
6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa apabila tidak sampai keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi.
Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits shahih yang artinya:
“Dahulu Rasulullah n mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” (Lihat takhrijnya dalam kitab Al-Irwa, hadits no. 934)
Akan tetapi bagi orang yang khawatir akan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekedar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“(orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku.” (Shahih HR. Muslim)
Dan juga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” (HR. At-Tirmidzi dan An-Nasai, dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih.” Dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa)
7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah dengan memakai wewangian.
Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirupnya atau menghisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam tenggorokan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, maka tidak membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” (HR. Abu Dawud, 1/132, dan At-Tirmidzi, 3/788, An-Nasai, 1/66, dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani t di Al-Irwa, hadits no. 935)
8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke tenggorokan.
9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk ke kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu dalam sebuah atsar:
“Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang dia akan membelinya.” (Atsar ini dihasankan As-Syaikh Al-Albani rahimahullah di Al-Irwa no. 937)
Demikian beberapa hal yang bisa kami ringkaskan dari penjelasan para ulama. Yang paling penting bagi setiap muslim, adalah meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentu telah menjelaskan seluruh hukum-hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al Qur`an dan As Sunnah dan penjelasan para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
(Dikutip dari tulisan Al-Ustadz Saifudin Zuhri, Lc, judul asli Hal-Hal yang Dianggap Membatalkan Puasa. URL sumber http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=298)

Apakah Perkara-perkara Ini Membatalkan Puasa? : Suntikan, Spray, Merokok, Pasta gigi/odol, menelan ludah/dahak, Mencium/bermesraan, Onani, Bekam/Donor darah, Haidh & Nifas

Apakah Perkara-perkara Ini Membatalkan Puasa? : Suntikan, Spray, Merokok, Pasta gigi/odol, menelan ludah/dahak, Mencium/bermesraan, Onani, Bekam/Donor darah, Haidh & Nifas

                                                  Apakah hukum suntikan bagi orang puasa?

Jawab: Suntikan itu ada dua jenis:
  1. Jenis yang berkedudukan sperti makanan dan minuman, seperti suntikan infus dengan berbagai macamnya. Maka segala sesuatu yang berkedudukan selayaknya makanan dan minuman hal itu membatalkan puasa.
  2. Jenis yang tidak berkedudukan selayaknya makanan atau minuman. Sesuai dengan pendapaat yang benar maka hal ini tidak membatalkan puasa, karena tidak ada dalil yang benar, yang jelas yang menunjukkan bahwa hal itu membatalkan.

Apa hukum menggunakan spray bagi penderita asma yang berpuasa?

Jawab: Yang benar bahwa hal itu tidak mengapa, meskipun ada sebagian butiran air yang masuk. Karena sebagian spray mengandung butiran air, dan butiran air mengakibatkan basah yang terkadang masuk ke kerongkongan. Maka yang benar adalah hal ini tidak mengapa karena ini perkara yang sulit untuk dihindari. Dan ini semisal dengan berkumur dan memasukkan air ke hidung saat wudhu’. Seseorang akan tetap tersisa suatu air pada rongganya dan tidak mungkin dia mengambil tisu lalu mengelapnya di dalam rongga mulutnya.
Dan kaidah syar’iyah mengatakan “Sesuatu yang sulit itu menuntut adanya kemudahan”. Akan tetapi tetap diingatkan bahwa pemakai spray tidak boleh berlebih-lebihan dalam memakainya, namun memakainya sekedar kebutuhannya saja. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar tidak berlebih-lebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika wudhu’.
Termasuk dalam hal ini adalah asap pengharum ruangan yang dihirup oleh seseorang tanpa sekehendaknya lalu masuklah ke kerongkongannya. Maka hal ini tidak mengapa karena hal ini adalah perkara yang sulit dihindari. Namun lebih baik hal ini ditinggalkan, tidak seharusnya orang yang puasa menggunakan asap pengharum ruangan ini dikarenakan adanya kemungkinan masuknya asap ini.

Apakah rokok membatalkan puasa?

Jawab: Rokok itu membatalkan puasa, karena dia beroperasi pada jalan masuknya makanan dan minuman dan juga dia memiliki selera yang ada pada makanan dan minuman. Maka rokok itu membatalkan.

Lalu bagaimana dengan orang yang di samping orang merokok dan menghirup asapnya?

Jawab: Bahwa Allah Ta’ala telah mengangkat dari umat ini setiap perkara yang sangat memberatkan, dan orang ini dia terpaksa menghirupnya dan tidak menyengaja menghirupnya. Maka insyaallah tidak masalah, karena “Sesuatu yang sulit itu menuntut adanya kemudahan”.

Apa hukum menggunakan pasta gigi di saat sedang puasa?

Jawab: Sebaiknya ditinggalkan berdasarkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam dari berlenih-lebihan dalam berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika wudhu’. Sangat mungkin engkau memakainya selaing di saat puasa, seperti sebelu adzan subuh atau setelah masuk waktu buka. Akan tetapi jika seeoran butuh memakainya di siang hari puasa untuk menghilangkan bau tak sedap boleh baginya menggunakannya dengan catatan tidak berlebih-lebihan dalam memakainya.

Apa hukum menelan ludah atau lendir / dahak bagi orang puasa?

Jawab: Yang benar setiap yang sangat sulit untuk dihindari maka tidak mengapa karena “Sesuatu yang sulit itu menuntut adanya kemudahan”. Jika ada ludah dalam mulutmu tidak mengapa engkau menelannya, akan tetapi jika engkau sengaja mengumpulkannya kemudian menelannya maka hal ini tidak boleh, dan jika diteruskan dikhawatirkan akan merusak puasanya. Demikian juga masalah menelan dahak hukumnya sama dengan menelan ludah. Dan guru kami Syaikh Al-’Utsaimin berfatwa bahwa orang sengaja menelan dahak batal puasanya, dan pada kesempatan lain mengatakan ditakutkan puasanya akan batal.

Apa hukum mencium dan bermesraan dengan pasangan di saat puasa?

Jawab: Hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dan Muslim adalah penentu dalam permasalahan ini. ‘Aisyah mengabarkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium sedang beliau dalam keadaan puasa, dan beliau bermesraan dalam kedaan puasa dan Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling bisa mengendalikan nafsunya.
Jika ciuman atau bermesraan itu tidak mengancamnya akan terjatuh pada syahwatnya maka tidak mengapa dilakukan pada saat puasa. Dan jika dikhwatirkan ciuman atau bermesraan itu akan mejatuhkan dia pada syahwatnya atau dikhawatirkan keluarnya mani maka tidak boleh dilakukan. Oleh karenanya Ibnul Qayyi rahimahullah menguatkan bahwa orang yang ditakutka akan terjatuh pada syahwatnya maka mencium dan bermesraan saat puasa baginya makruh. Jika bisa menguasai nafsunya maka tidak mengapa.
Tambahan: Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan: Orang yang tidak bisa menguasai syahwatnya tidak boleh mencium dan bermesraan meskipun dia sudah tua / lanjut usianya. Dan orang yang mencium atau bermesraan kemudian keluar madzinya maka puasanya tidak batal, meskipun hal ini tetap ada pegaruhnya bagi kesempurnaan puasanya.

Dan beliau menegaskan bahwa orang yang melakukan onani pada saat puasa maka batal puasanya.

Karena dia tidak lagi mempuasakan syahwatnya. Dan onani itu haram berdasarkan ijma’ para shahabat sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Muqbi rahimahullah dalam kitabnya, dan orang yang menukilkan bahwa Imam Ahmad memberikan rukhshah maka nukilan itu tidak benar penisbahannya pada beliau.

Apa hukum mengeluarkan darah bagi orang yang puasa? Entah dengan bekam atau donor darah?

Jawab: Jika pengeluaran darah itu hanya sedikit dan tidak mengganggu badannya maka tidak membatalkan puasa. Dan jika mendatangkan gangguan sehingga ditakutkan membahayakan badannya maka lebih baik ditinggalkan, dan secara benar hal ini tidak membatalkan puasanya. Adapu hadits yang bermakna “Orang yang berbekam dan pembekamnya telah batal puasanya” adalah hadits yang diperbincangkan. Dan maknanya bukanlah oang yang berbekam atau yang membekam itu batl puasanya, tetapi maknanya bahwa bekam itu menjadi sebab batalnya sebuah puasa. Menjadi sebab batalnya puasa orang yang membekam dari sisi (kalau jaman dulu) ketika yang membekam menyedot darah dikhawatirkan akan masuk pada kerongkongannya. Adapun menjadi sebab batalnya puasa yang berbekam karena pengeluaran darah itu akan menjadikan dia lelah sehingga mengantarkan pada batalnya puasa.
Dan yang menegaskan bahwa bekam itu tidak membatalkan puasa adalah hadits Ibnu ‘Abbas dalam As-Shahih yang maknanya “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam pada kepalanya dan beliau dalam keadaan puasa dan berihram”. Namun sebaiknya pengeluaran darah ini ditinggalkan oleh yang berpuasa tekhusus kalau akan berpengaruh pada puasanya.
Tambahan: Asy-Syaikh Muhammad Al-Imam hafizhahullah mengatakan:
Penggunaan obat tetes pada hidung untuk pengobatan maka kebanyakan ulama menyatakan hal itu tidak membatalkan karena hidung bukanlah jalannya makanan.
Dan bercelak di saat puasa tidaklah mengapa dan tidak mempengaruhi puasanya, karena mata bukanlh jalannya makanan.

Termasuk pembatal puasa juga adalah keluarnya darah haidh dan nifas.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang telah lewat,

فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ

“Maka kami diperintahkan untuk menqadha’ puasa.”
Maka seorang wanita jika datang haidhnya atau keluar darah nifas maka batal puasanya dan tidak sah untuk puasa. Dan demikian dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan bahwa wanitaa dikatakan kuraang agamanya yaitu disaat adatng haidhnya karena dia disaat itu meninggalkan puasa dan shalat.
Dengan ini kita mengetahui bahwa puasa tidak akan sempurna kecuali dengan meninggalkan pembatal puasa ini. Siapa yang menggampangkan urusannya dikhawatirkan baginya ancaman yang keras sebagaimana dalam hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Ahmad bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلاَنِ ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ ، فَأَتَيَا بِي جَبَلاً وَعْرًا … فَصَعِدْتُ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتٍ شَدِيدَةٍ ، قُلْتُ : مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ ؟ قَالُوا : هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ، ثُمَّ انْطُلِقَ بِي ، فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ ، مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ ، تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا قَالَ : قُلْتُ : مَنْ هَؤُلاَءِ ؟ قَالَ : هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

“Ketika aku tidur datang kepadaku dua orang keduanya memegang kedua lenganku lalu mengajakku ke suatu gunung ynag terjal… Lalu aku naik hingga aku sampai di pucuk gunung tiba-tiba terdengar suara yang keras, maka aku berkata: “Suara apakah ini?” Mereka berkata: “Ini adalah lolongan penghuni neraka.” Kemudian dia beranjak bersamaku tiba-tiba terlihat suatu kaum yang tergantung pada urat di atas tumitnya tercabik-cabik sudut mulutnya, darah mengucur dari sudut mulut. Aku berkata: “Siapa mereka itu?” Dia berkata: “Mereka adalah orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (sebelum waktunya).”
Ini hukuman bagi orang yang berbuka sebelum waktunya, lalu bagaimana dengan orang yang berbuka di setiap detik hari-harinya. Bermudah-mudahan dalam menentukan waktu berbuka, tidak bersabar dan berkhianat dalam puasanya. Menampakkan di hadapan manusia dia sedang puasa padahal dia tidak puasa, atau tidak bersabar dari syahwatnya.
Siapa yang sengaja berbuka tanpa udzur syar’i maka tidak diterima darinya qadha’. Diriwayatkan sebuah hadits yang maknanya: “Siapa yang membatalkan puasa dengan sengaja pada Ramadhan tidak tergantikan puasa selama masih ada waktu meskipun dia melakukan puasa itu”. Meskipun hadits ini lemah akan tetapi maknanya benar didukung oleh keumuman dalil-dalil yang lain.

Sumber : http://thalibmakbar.wordpress.com/2010/08/05/13-apakah-perkara-perkara-ini-membatalkan-puasa/

Kata Mutiara Sahabat Rasulullah SAW.

Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang berakhlak paling mulia. ~ Nabi Muhammad SAW
Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kalian, tapi Dia melihat hati dan amal kalian. ~ Nabi Muhammad SAW
Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal. ~ Imam Al Ghazali
Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. ~ Khalifah ‘Umar
Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan. ~ Ibnu Mas’ud
Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. ~ Khalifah ‘Ali
Sabar memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah sabar, sisi yang lain adalah bersyukur kepada Allah. ~ Ibnu Mas’ud
Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu. ~ Khalifah ‘Ali
Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar
Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk. ~ Imam An Nawawi
Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan perhiasan itu. ~ Sayidina Abu Bakar
Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab
Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. ~ Sayidina Umar bin Khattab
Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu daripada 4 sifat yang membinasakan yaitu : Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya atau; hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau; hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk kejahatan pula atau; adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna. ~ Sayidina Abu Bakar
Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.
Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. ~ Sayidina Umar bin Khattab
Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit amalan yang disertai takwa. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki.
Doa yang paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan. Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya. Siapa yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya. Siapa yang hilang harga dirinya, bererti dia tidak wara’. Sedang orang yang tidak wara’ itu berarti hatinya telah mati. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
Antara tanda-tanda orang yang bijaksana itu ialah :
1. Hatinya selalu berniat suci. Lidahnya selalu basah dengan zikrullah.
2. Kedua matanya menangis kerana penyesalan (terhadap dosa).
3. Segala perkara dihadapinya dengan sabar dan tabah.
4. Mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
~ Sayidina Utshman bin Affan
Tiada yang lebih baik dari dua kebaikan : Beriman pada Allah dan bermanfaat bagi manusia. Tiada yang lebih buruk dari dua kejahatan : Syirik pada Allah dan merugikan manusia.
Tiga tanda kesempurnaan iman : Kalau marah, marahnya tidak keluar dari kebenaran. Kalau senang, senangnya tidak membawanya pada kebatilan. Ketika mampu membalas, ia memaafkan.
Dengannya Allah kuburkan kedengkian, Dengannya Allah padamkan permusuhan; Melaluinya diikat persaudaraan; Yang hina dimulyakan. Yang tinggi direndahkan.
Jika orang dapat empat hal, ia dapat kebaikan dunia akhirat: Hati yang bersyukur, lidah yang berzikir, badan yang tabah pada cobaan, dan pasangan yang setia menjaga dirinya dan hartanya.
Nabi ditanya bermanfaatkah kebajikan setelah dosa? Ia menjawab: Taubat membersihkan dosa, kebaikan menghapuskan keburukan.
Manusia Paling baik adalah orang yang dermawan dan bersyukur dalam kelapangan, yang mendahulukan orang lain, bersabar dalam kesulitan.
Tiga manusia tidak akan dilawan kecuali oleh orang yang hina : orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya, orang cerdas cendikia dan imam yang adil.
Tiada musibah yang lebih besar daripada meremehkan dosa-odsamu dan merasa ridho dengan keadaan rohaniahmu sekarang ini.
Hati Adalah Ladang. Sesungguhnya setengah perkataan itu ada yang lebih keras dari batu, lebih tajam dari tusukan jarum, lebih pahit daripada jadam, dan lebih panas daripada bara. Sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamlah ia dengan perkataan yang baik, karna jika tidak tumbuh semuanya (perkataan yang tidak baik), niscaya tumbuh sebahagiannya.
** Dari berbagai sumber

Ali Bin Abi Thalib ra

"Aku khawatir trhdp suatu masa yg roda kehidupanya dpt menggilas iman.
Iman hy tinggal pemikiran yg tdk berbekas dlm perbuatan.
Banyak org baik tp tdk berakal, ada ong berakal tp tdk beriman.
Ada lidah fasih tp berhati lalai, ada yg khusyu' namun sibuk dlm kesendirian.
Ada ahli ibadah tp mewarisi kesombongan iblis.
Ada ahli maksiat rendah hati bagai sufi.
Ada yg byk tertawa hgg hatinya berk...arat, ada yg byk menangis tp kufur nikmat.
Ada yg murah senyum tp hatinya mengumpat, ada yg berhati tulus tp wajahnya cemberut.
Ada yg berlisan bijak tp tdk memberi teladan, ada pelacur tampil jd figur.
Ada org py ilmu tp tdk paham, ada yg phm tp tdk menjalankan.
Ada yg pintar tp membodohi, ada yg bodoh tak tau diri.
Ada org beragama tp tdk berakhlak, ada yg berakhlak tp tdk bertuhan.

Lalu di antara semua itu di mana aku berada?"

(Ali bin Abi Talib RA.)

Rabu, 25 Juli 2012

10 Wasiat Hasan Al-Banna

Imam Hasan Al-Bana, pendiri gerakan dakwah Ikhwan yang terkenal ke seluruh dunia, banyak meninggalkan catatan penting pada sejarah perjuangan Islam modern. Ingat, kehadiran Imam Hasan bertepatan dengan hanya beberapa saat setelah hancurnya kekhalifan Islam yang terakhir. Tak pelak, setelah kepergian beliau, tak ada lagi figur dakwah yang bisa dijadikan acuan dalam gerakan Islam.
Setiap hari, dalam dakwahnya, ia berjalan kaki tidak kurang dari 20 KM. Beliau menyambangi desa-desa dan dilakukannya tanpa pamrih sedikitpun dari manusia. Ia duduk di warung kopi pada beberapa malam, menyatu dengan masyarakat yang sebenarnya, dan ia mampu mengingat nama orang yang baru saja ditemuinya walaupun hanya sekali, sehingga orang yang diajak bicara olehnya menjadi simpati.
Banyak warisan dari Imam Hasan yang sangat menggelorakan semangat dakwah Islam. Berikut ini beberapa di antaranya dari sekian wasiat-wasiatnya:
  1. Bangunlah segera untuk melakukan sholat apabila mendengara adzan walau bagaimanapun keadaannya.
  2. Baca, Telaah dan dengarkan Al-Quran atau dzikirlah kepada Allah dan janganlah engkau menghambur-hamburkan waktumu dalam masalah yang tidak ada manfaatnya.
  3. Bersungguh-sungguhlah untuk bisa berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih.
  4. Jangan memperbanyak perdebatan dalam berbagai bidang pembicaraan sebab hal ini semata-mata tidak akan mendatangkan kebaikan.
  5. Jangan banyak tertawa sebab hati yang selalu berkomunikasi dengan Allah (dzikir) adalah tenang dan tentram.
  6. Jangan bergurau karena umat yang berjihad tidak berbuat kecuali dengan bersungguh-sungguh terus-menerus.
  7. Jangan mengeraskan suara di atas suara yang diperlukan pendengar, karena hal ini akan mengganggu dan menyakiti.
  8. Jauhilah dari membicarakan kejelekan orang lain atau melukainya dalam bentuk apapun dan jangan berbicara kecuali yang baik.
  9. Berta’aruflah dengan saudaramu yang kalian temui walaupun dia tidak meminta, sebab prinsip dakwah kita adalah cinta dan ta’awun (kerja sama).
  10. Pekerjaan rumah kita sebenarnya lebih bertumpuk dari pada waktu yang tersedia, maka manfaatkanlah waktu dan apabila kalian mempunyai sesuatu keperluan maka sederhanakanlah dan percepatlah untuk diselesaikan.

(lengkap) PANDUAN,CARA & DO’A SHOLAT ISTIKHARAH YANG BENAR : “Sholat Istikhoroh” untuk jodoh maupun urusan lain | Bolehkan do’a Istikharah dengan bahasa Indonesia? | Bolehkah do’a Istikhoroh tanpa Sholat dulu? | Apakah jawaban & hasil sholat Istikharah harus dalam bentuk “mimpi” atau hati yang mantap?

Shalat Istikharah

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا الِاسْتِخَارَةَ فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنْ الْقُرْآنِ يَقُولُ إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الْفَرِيضَةِ ثُمَّ لِيَقُلْ

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيمِ فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَأَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاقْدُرْهُ لِي وَيَسِّرْهُ لِي ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيهِ وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِينِي وَمَعَاشِي وَعَاقِبَةِ أَمْرِي أَوْ قَالَ فِي عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ فَاصْرِفْهُ عَنِّي وَاصْرِفْنِي عَنْهُ وَاقْدُرْ لِي الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِي قَالَ وَيُسَمِّي حَاجَتَهُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yan kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika seorang dari kalian menghadapi masalah maka ruku’lah (shalat) dua raka’at yang bukan shalat wajib kemudian berdo’alah: 
Allahumma inniy astakhiiruka bi ‘ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa as-aluka min fadhlikal ‘azhim, fainnaka taqdiru wa laa aqdiru wa ta’lamu wa laa ‘Abdullah’lamu wa anta ‘allaamul ghuyuub. Allahumma in kunta ta’lamu anna haadzal amru khairul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” atau; ‘Aajili amriy wa aajilihi faqdurhu liy wa yassirhu liy tsumma baarik liy fiihi. Wa in kunta ta’lamu anna haadzal amru syarrul liy fiy diiniy wa ma’aasyiy wa ‘aaqibati amriy” aw qaola; fiy ‘aajili amriy wa aajilihi fashrifhu ‘anniy washrifniy ‘anhu waqdurliyl khaira haitsu kaana tsummar dhiniy.”
(Ya Allah aku memohon pilihan kepada-Mu dengan ilmuMu dan memohon kemampuan dengan kekuasaan-Mu dan aku memohon karunia-Mu yang Agung. Karena Engkau Maha Mampu sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, Engkaulah yang Maha Mengetahui perkara yang gaib. Ya Allah bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka takdirkanlah buatku dan mudahkanlah kemudian berikanlah berkah padanya. Namun sebaliknya ya Allah, bila Engkau mengetahui bahwa urusan ini buruk untukku, bagi agamaku, kehidupanku dan kesudahan urusanku ini -atau beliau bersabda: di waktu dekat atau di masa nanti- maka jauhkanlah urusan dariku dan jauhkanlah aku darinya. Dan tetapkanlah buatku urusan yang baik saja dimanapun adanya kemudian jadikanlah aku ridha dengan ketetapan-Mu itu”. Beliau bersabda: “Dia sebutkan urusan yang sedang diminta pilihannya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1162)
Cara menyebutkan urusannya misalnya: Ya Allah, jika engkau mengetahui bahwa safar ini atau pernikahan ini atau usaha ini atau mobil ini baik bagiku …, dan seterusnya.
Penjelasan ringkas:

Sesungguhnya manusia adalah makhluk yang sangat lemah, mereka sangat membutuhkan bantuan dari Allah Ta’ala dalam semua urusan mereka. Hal itu karena dia tidak mengetahui hal yang ghaib sehingga dia tidak bisa mengetahui mana amalan yang akan mendatangkan kebaikan dan mana yang akan mendatangkan kejelekan bagi dirinya. Karenanya, terkadang seseorang hendak mengerjakan suatu perkara dalam keadaan dia tidak mengetahui akibat yang akan lahir dari perkara tersebut atau hasilnya mungkin akan meleset dari perkiraannya.
Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mensyariatkan adanya istikharah, yaitu permintaan kepada Allah agar Dia berkenan memberikan hidayah kepadanya menuju kepada kebaikan. Yang mana doa istikharah ini dipanjatkan kepada Allah setelah dia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat.
Allah Ta’ala berfirman:
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ. وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ.  وَهُوَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْحَمْدُ فِي الْأُولَى وَالْآخِرَةِ وَلَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhanmu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nyalah segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kalian dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 68-70)
Imam Muhammad bin Ahmad Al-Qurthuby rahimahullah berkata, “Sebagian ulama mengatakan: Tidak sepantasnya bagi seseorang untuk mengerjakan suatu urusan dari urusan-urusan dunia kecuali setelah dia meminta pilihan kepada Allah dalam urusan tersebut. Yaitu dengan dia shalat dua rakaat shalat istikharah.” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/202)
Shalat istikharah termasuk dari shalat-shalat sunnah berdasarkan kesepakatan para ulama. Al-Hafizh Al-Iraqi berkata -sebagaimana dalam Fath Al-Bari (11/221-222), “Saya tidak mengetahui ada ulama yang berpendapat wajibnya shalat istikharah.”
Faidah:
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fath (11/220), “Ibnu Abi Hamzah berkata: Amalan yang wajib dan yang sunnah tidak perlu melakukan istikharah dalam melakukannya, sebagaimana yang haram dan makruh tidak perlu melakukan istikharah dalam meninggalkannya.
Maka urusan yang butuh istikharah hanya terbatas pada perkara yang mubah dan dalam urusan yang sunnah jika di depannya ada dua amalan sunnah yang hanya bisa dikerjakan salah satunya, mana yang dia kerjakan lebih dahulu dan yang dia mencukupkan diri dengannya.” Maka janganlah sekali-kali kamu meremehkan suatu urusan, akan tetapi hendaknya kamu beristikharah kepada Allah dalam urusan yang kecil dan yang besar, yang mulia atau yang rendah, dan pada semua amalan yang disyariatkan istikharah padanya. Karena terkadang ada amalan yang dianggap remeh akan tetapi lahir darinya perkara yang mulia.”
Berikut beberapa permasalahan yang sering ditanyakan berkenaan dengan istikharah:
1.    Apakah boleh istikharah dengan doa selain doa di atas atau dengan bahasa Indonesia?
Jawab: Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata dalam hadits di atas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajari kami istikharah dalam setiap urusan yang kami hadapi sebagaimana beliau mengajarkan kami suatu surah dari Al-Qur’an.”
Ucapan ini menunjukkan bahwa dalam istikharah seseorang hanya boleh membaca doa di atas sesuai dengan konteks aslinya, tidak boleh ada penambahan dan tidak boleh juga ada pengurangan. Hal itu karena Nabi shallallahu alaihi wasallam menyerupakan pengajaran istikharah seperti pengajaran surah Al-Qur`an. Maka sebagaimana suatu ayat dalam Al-Qur`an tidak boleh ditambah atau dikurangi atau dirubah maka demikian halnya dengan doa istikharah. Karenanya tidak boleh berdoa dengan membaca terjemahannya semata, tapi dia harus membacanya sebagaimana Nabi mengajarkannya.
Barangsiapa yang berdoa dengan terjemahannya maka dia tidak teranggap melakukan istikharah, akan tetapi dia hanya dianggap sedang berdoa kepada Allah. Hal ini telah diisyaratkan oleh Muhammad bin Abdillah bin Al-Haaj Al-Maliki rahimahullah dalam Al-Madkhal (4/37-38)
2.    Apakah boleh langsung berdoa dengan doa di atas tanpa melakukan shalat sebelumnya?
Jawab: Wallahu a’lam, yang nampak bahwa 2 rakaat dengan doa ini merupakan satu kesatuan dalam istikharah. Karenanya barangsiapa yang hanya berdoa tanpa mengerjakan shalat maka dia tidak dianggap mengerjakan istikharah yang tersebut dalam hadits ini. Walaupun dia tetap dianggap sebagai orang yang berdoa kepada Allah.
Akan tetapi jika dia ada uzur dalam mengerjakan shalat -misalnya wanita yang tengah haid atau nifas-, maka dia boleh langsung berdoa dan itu sudah dianggap sebagai istikharah karenanya adanya uzur untuk tidak mengerjakan shalat. Ini merupakan mazhab Al-Hanafiah, Al-Malikiah, dan Asy-Syafi’iyah.
Imam An-Nawawi berkata dalam Al-Adzkar hal. 112, “Jika dia tidak bisa mengerjakan shalat karena ada uzur, maka hendaknya dia cukup beristikharah dengan doa.”
3.    Apakah dua rakaat ini merupakan shalat khusus, ataukah berlaku untuk semua shalat sunnah dua rakaat?
Jawab: Lahiriah hadits menunjukkan ini merupakan shalat dua rakaat khusus dengan niat untuk istikharah. Hanya saja jika seseorang shalat sunnah rawatib dengan niat rawatib sekaligus niat istikharah (menggabungkan niat), maka itu sudah cukup baginya dan dia sudah boleh langsung berdoa setelahnya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Jika dia meniatkan shalat itu dengan niatnya dan dengan niat shalat istikharah secara bersamaan (menggabungkan niatnya, pent.) maka shalatnya itu sudah syah dianggap sebagai istikharah, berbeda halnya jika dia tidak meniatkannya (sebagai shalat istikharah).” (Fath Al-Bari: 11/221)
Sekedar menguatkan isi hadits, bahwa dua rakaat yang dimaksud haruslah merupakan shalat sunnah. Karenanya shalat subuh tidak bisa diniatkan sebagai shalat istikharah karena dia merupakan shalat wajib.
4.    Adakah surah khusus yang disunnahkan untuk dibaca dalam shalat istikharah?
Jawab: Al-Hafizh Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Saya tidak menemukan sedikitpun dalam jalan-jalan hadits istikharah adanya penentuan surah tertentu yang dibaca di dalamnya.” (Umdah Al-Qari`: 7/235)
Inilah pendapat yang benar karena tidak ada satupun dalil yang menunjukkan adanya surah tertentu yang lebih utama dibaca dalam shalat istikharah. Sementara tidak boleh menentukan lebih utamanya suatu surah dibandingkan yang lainnya dari sisi bacaan kecuali dengan dalil yang shahih.
5.    Bagi yang tidak menghafal doanya, apakah dia bisa membacanya dari sebuah buku?
Jawab: Yang jelas, yang pertama kita katakan: Hendaknya dia berusaha semaksimal mungkin untuk menghafalnya.
Jika dia tidak sanggup, maka Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya.Dalam keadaan seperti ini dia diperbolehkan membaca doa ini dengan melihat kepada kitab atau catatannya. Al-Lajnah Ad-Da`imah menjawab ketika diajukan pertanyaan yang senada dengan di atas, “Jika engkau menghafal doa istikharah atau engkau membacanya dari kitab, maka tidak ada masalah. Hanya saja kamu wajib bersungguh-sungguh dalam berkonsentrasi dan khusyu’ kepada Allah serta jujur dalam berdoa.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah: 8/161)
6.    Bolehkah shalat istikharah pada waktu yang terlarang shalat?
Jawab: Jika shalat istikharahnya masih bisa ditunda hingga keluar dari waktu yang terlarang maka inilah yang lebih utama dia kerjakan. Akan tetapi shalat istikharah ini jika tidak bisa diundur atau dia butuhkan saat itu juga, maka dia boleh mengerjakannya saat itu juga walaupun pada waktu yang terlarang. Karena jika shalat istikharah itu dibutuhkan secepatnya, maka jadilah dia shalat sunnah yang disyariatkan karena adanya sebab, sementara sudah dimaklumi bahwa waktu-waktu terlarang shalat ini tidak berlaku pada shalat-shalat sunnah yang mempunyai sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat sunnah wudhu, dan semacamnya.
Bolehnya shalat sunnah yang mempunyai sebab dikerjakan pada waktu-waktu terlarang merupakan mazhab Imam Asy-Syafi’i dan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, serta pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa: 23/210-215)
7.    Apa yang dia lakukan setelah istikharah?
Jawab: Sebelumnya butuh diingatkan bahwa sebelum melakukan istikharah hendaknya dia mengosongkan hatinya dari kecondongan kepada salah satu urusan dari dua urusan yang dia akan mintai pilihan (tidak berpihak kepada satu pilihan). Akan tetapi hendaknya dia melepaskan diri dari semua pilihan tersebut dan betul-betul pasrah menyerahkan nasibnya dan pilihannya kepada Allah Ta’ala.
Imam Al-Qurthuby berkata, “Para ulama menyatakan: Hendaknya dia mengosongkan hatinya dari semua pikiran (berkenaan dengan urusan yang akan dia hadapi) agar hatinya tidak condong kepada salah satu urusan (sebelum dia istikharah).” (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an: 13/206)
Kemudian, setelah dia melakukan istikharah, maka hendaknya dia memilih untuk mengerjakan apa yang hendak dia lakukan dari urusan yang tadinya dia minta pilihan padanya. Jika urusan itu merupakan kebaikan maka insya Allah Allah akan memudahkannya dan jika itu merupakan kejelekan maka insya Allah Allah akan memalingkannya dari urusan tersebut.
Muhammad bin Ali Az-Zamlakani rahimahullah berkata,
“Jika seseorang sudah shalat istikharah dua rakaat untuk suatu urusan, maka setelah itu hendaknya dia mengerjakan urusan yang dia ingin kerjakan, baik hatinya lapang/tenang dalam mengerjakan urusan itu ataukah tidak, karena pada urusan tersebut terdapat kebaikan walaupun mungkin hatinya tidak tenang dalam mengerjakannya.” Dan beliau juga berkata, “Karena dalam hadits (Jabir) tersebut tidak disebutkan adanya kelapangan/ketenangan jiwa.” (Thabaqat Asy-Syafi’iah Al-Kubra: 9/206) Maksudnya: Dalam hadits Jabir di atas tidak disebutkan bahwa hendaknya dia mengerjakan apa yang hatinya tenang dalam mengerjakannya, wallahu a’lam.
Karenanya, termasuk khurafat adalah apa yang diyakini oleh sebagian orang bahwa: Siapa yang sudah melakukan istikharah maka dia tidak melakukan apa-apa hingga mendapatkan mimpi yang baik atau mimpi yang akan mengarahkannya dan seterusnya. Ini sungguh merupakan perbuatan orang yang jahil tatkala dia menyandarkan urusannya pada sebuah mimpi, wallahul musta’an.
8.    Jika hatinya masih ragu-ragu atau hatinya belum mantap dalam mengerjakan urusan yang tadinya dia sudah beristikharah untuknya. Apakah dia boleh mengulangi shalat istikharahnya?
Jawab: Boleh berdasarkan beberapa dalil di antaranya:
1.    Istikharah merupakan doa, dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam berdoa adalah mengulanginya sebanyak tiga kali.
Hadits ini kami bawakan bukan untuk menunjukkan shalat istikharah diulang sebanyak tiga kali, akan tetapi hanya untuk menunjukkan bolehnya mengulangi doa.
2.    Shalat istikharah adalah shalat yang disyariatkan karena adanya sebab. Karenanya, selama sebab itu masih ada dan belum hilang maka tetap disyariatkan mengerjakan shalat ini.
Inilah yang dipilih oleh sejumlah ulama di antanya: Imam Badruddin Al-Aini dalam Umdah Al-Qari` (7/235), Ali Al-Qari dalam Mirqah Al-Mafatih (3/406), dan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (3/89).
9.    Haruskah shalat istikharah dikerjakan di malam hari?
Jawab: Dalam hadits di atas tidak ada keterangan waktu pengerjaannya. Karena shalat ini bisa dikerjakan kapan saja baik siang maupun malam hari. Barangsiapa yang meyakini shalat ini hanya bisa dikerjakan di malam hari maka keyakinannya ini keliru. Walaupun tentunya jika dia mengerjakannya pada waktu-waktu dimana doa mustajabah -seperti antara azan dan iqamah, sepertiga malam terakhir, dan seterusnya-, maka itu lebih utama.
Demikian beberapa pertanyaan yang sempat hadir dalam ingatan kami, jika ada pertanyaan lain silakan dituliskan pada kolom komentar.

Wajibnya Meluruskan Shaf Dalam Shalat

Rukun Islam yang paling utama setelah persaksian dengan dua kalimat syahadat adalah mendirikan shalat. Bahkan shalat adalah amalan yang pertama kali akan dihisab di hari kiamat nanti. Apabila baik shalatnya, niscaya akan baik pula seluruh amalan yang lainnya akan tetapi sebaliknya apabila shalatnya rusak/jelek, niscaya akan rusak pula amalan yang lainnya.

Untuk itu sangatlah wajib bagi kita untuk memperhatikan permasalahan shalat, di mulai dari rukun-rukunnya, syarat wajibnya, thaharahnya dan lainnya yang berkaitannya dengan shalat.
Pentingnya Meluruskan Shaf & Ancaman Keras bagi yang Tidak Meluruskannya
Dan di antara hal yang berkaitan dengan shalat yang harus diperhatikan dengan serius dan tidak boleh diremehkan adalah permasalahan lurus dan rapatnya shaf (barisan dalam shalat).
Mengapa demikian? Karena ancamannya pun tidak sembarangan, yakni ancaman bagi yang tidak meluruskan shaf.
Dijelaskan di dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhariy dan Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir, beliau berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan memalingkan antar wajah-wajah kalian (menjadikan wajah-wajah kalian berselisih).” (HR. Al-Bukhariy no.717 dan Muslim 436))
Dalam satu riwayat milik Al-Imam Muslim disebutkan,
Bahwasanya Rasulullah biasa meluruskan shaf-shaf kami seakan-akan beliau sedang meluruskan anak panah sehingga apabila beliau melihat bahwasanya kami telah memahami hal itu, yakni wajibnya meluruskan shaf (maka beliaupun memulai shalatnya, pent). Kemudian pada suatu hari beliau keluar, lalu berdiri sampai hampir-hampir beliau bertakbir untuk shalat, tiba-tiba beliau melihat seseorang yang menonjol sedikit dadanya, maka beliaupun bersabda, “Wahai hamba-hamba Allah, benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak) maka Allah sungguh akan memalingkan antar wajah-wajah kalian.”
Lihatlah wahai saudaraku, kaum muslimin, sabda beliau yang mulia, yang mana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah Allah terangkan sifatnya kepada orang-orang beriman,
Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaum kalian sendiri, berat terasa olehnya penderitaan kalian, sangat menginginkan (keimanan, kebaikan dan keselamatan) bagi kalian, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman.” (At-Taubah:128)
Tidaklah beliau bersabda demikian kecuali karena menginginkan kebaikan bagi ummatnya, kaum muslimin.
Tidak ada satu kebaikan pun yang akan mendekatkan ke jannah kecuali telah beliau tunjukkan kepada ummatnya agar melakukannya dan tidak ada satu kejelekan pun yang akan mengantarkan ke neraka kecuali telah beliau larang ummatnya agar menjauhinya.
Di dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menekankan agar meluruskan shaf di dalam shalat dengan sabdanya, “Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak), maka sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian.”
“Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian” dalam kalimat ini terdapat tiga penekanan dan penguat yaitu: sumpah yang diperkirakan, lam taukid dan nun taukid.
Demikian juga kalimat setelahnya, “atau sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian”, mengandung tiga penekanan dan penguat: sumpah, lam taukid dan nun tukid, yakni jika kalian tidak meluruskan shaf, maka sungguh Allah subhanahu wa ta’ala akan memalingkan antar wajah-wajah kalian.
Makna Berpaling/Berselisihnya Wajah
Para ulama berbeda pendapat tentang makna “berpalingnya atau berselisihnya wajah“.
Sebagian mereka berpendapat, bahwasanya maknanya adalah sungguh Allah subhanahu wa ta’ala akan memalingkan antar wajah-wajah mereka dengan memalingkan sesuatu yang dapat dirasakan panca indera, yaitu dengan memutar leher, sehingga wajahnya berada dibelakangnya, dan Allah subhanahu wa ta’ala Maha Mampu atas segala sesuatu.
Dialah Allah ‘Azza Wa Jalla yang telah menjadikan sebagian keturunan Nabi Adam (yaitu Bani Israil) menjadi kera, di mana Allah subhanahu wa ta’ala berkata kepada mereka: “Jadilah kalian kera yang hina” (Al-Baqarah:65) maka jadilah mereka kera.
Maka Allah subhanahu wa ta’ala mampu untuk memutar leher manusia sehingga wajahnya berada di punggungnya, dan ini adalah siksaan yang dapat dirasakan panca indera.
Adapun ulama yang lain berpendapat, bahwa yang dimaksudkan perselisihan di sini adalah perselisihan maknawiyyah, yakni berselisihnya hati, karena hati itu mempunyai arah, maka apabila hati itu bersepakat terhadap satu arah, satu pandangan, satu aqidah dan satu manhaj, maka akan didapatkan kebaikan yang banyak. Akan tetapi sebaliknya apabila hati berselisih maka ummat pun akan berpecah belah.
Sehingga yang dimaksud perselisihan dalam hadits ini adalah perselisihan hati, dan inilah tafsiran yang paling shahih/benar, karena terdapat dalam sebagian lafazh hadits, “atau sungguh Allah akan palingkan antar hati-hati kalian.”
Dengan alasan inilah, maka yang dimaksud dengan sabda beliau, “atau sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian”, yakni cara pandang kalian, yang hal ini terjadi dengan berselisihnya hati.
Wajibnya Meluruskan Shaf
Bagaimanapun juga, di dalam hadits ini terdapat dalil akan wajibnya meluruskan shaf, dan bahwasanya wajib atas para makmum untuk meluruskan shaf-shaf mereka, dan kalau mereka tidak meluruskan shafnya, maka sungguh mereka telah mempersiapkan diri-diri mereka untuk mendapatkan siksaan dari Allah subhanahu wa ta’ala, wal’iyaadzu billaah.
Pendapat ini yaitu wajibnya meluruskan shaf adalah pendapat yang benar, sehingga wajib atas imam-imam shalat agar memperhatikan shaf, apabila didapatkan padanya kebengkokan atau ada yang sedikit maju atau mundur, maka para imam tersebut harus memperingatkan mereka agar meluruskan shafnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun kadang-kadang berjalan di antara shaf-shaf untuk meluruskannya dengan tangannya yang mulia dari shaf yang pertama sampai terakhirnya.
Ketika manusia semakin banyak di masa khilafah ‘Umar Ibnul Khaththab, ‘Umar pun memerintahkan seseorang untuk meluruskan shaf apabila telah dikumandangkan iqamah. Apabila orang yang ditugaskan tersebut telah datang dan mengatakan, “Shaf telah lurus” maka ‘Umar pun bertakbir untuk memulai shalat.
Demikian juga hal ini dilakukan oleh ‘Utsman bin ‘Affan, beliau menugaskan seseorang untuk meluruskan shaf-shaf manusia, maka apabila orang tersebut datang dan mengatakan, “Shaf telah lurus”, beliaupun bertakbir untuk memulai shalat.
Semuanya ini menunjukkan atas perhatian yang tinggi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafa`ur Rasyidin dalam masalah meluruskan shaf.
Sebagian Kaum Muslimin Susah Diatur
Akan tetapi, sungguh amat disesalkan, sekarang engkau akan dapati para makmum tidak mempedulikan masalah meluruskan shaf, yang satu agak maju ke depan, yang satu lagi agak mundur ke belakang, tidak peduli akan lurusnya shaf.
Kadang-kadang mereka lurus pada raka’at pertama, kemudian ketika sujud muncullah kesenjangan, yang satu agak maju dan yang lain agak ke belakang, dan mereka tidak meluruskan shaf pada raka’at kedua, bahkan mereka tetap seperti itu tidak meluruskan shaf di raka’at kedua dan seterusnya, ini adalah kesalahan.
Yang lebih mengherankan dari semuanya itu adalah ketika ada seseorang yang paham akan wajibnya meluruskan shaf, dia bertindak sebagai imam, maka diapun melaksanakan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu memeriksa para makmum dan memerintahkan mereka untuk meluruskan shaf, maka engkau akan dapati sebagian makmum tersebut enggan, tidak mau lurus dan rapat. Bahkan ada yang menonjol maju ke depan atau mundur ke belakang, ataupun kaki-kaki mereka tidak rapat antara satu dengan lainnya. Dalam keadaan mereka sudah mengetahui hadits di atas. Wallaahul Musta’aan.
Semoga Allah Tabaraka Wa Ta’ala menunjuki semua kaum muslimin agar menjadi orang-orang yang taat kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana sifat orang-orang mukmin yang baik adalah sami’naa wa atha’naa (kami mendengar dan kami taat), bukan sami’naa wa ‘ashainaa (kami mendengar dan kami melanggarnya).
Yang jelas wajib bagi imam maupun para makmum untuk meluruskan dan merapatkan shaf.
Bila Hanya Ada Imam & Seorang Makmum
Kalau ada yang bertanya, “Apabila di sana hanya ada imam dengan seorang makmum saja, apakah imam maju sedikit ke depan ataukah sejajar dengan makmum?
Jawabannya adalah hendaklah imam sejajar dengan makmum, imam berada di sebelah kiri sedangkan makmum di sebelah kanan imam, karena apabila hanya ada imam dan seorang makmum saja, maka berarti shaf cuma ada satu, yang tidak mungkin makmum sendirian di belakang imam, bahkan yang benar adalah mereka berdua berada dalam satu shaf yaitu sang imam sejajar dengan makmum. Dengan berada dalam satu shaf akan terjadi kelurusan dalam shaf.
Dalilnya adalah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam, datanglah Ibnu ‘Abbas berdiri di sebelah kiri beliau, maka beliau pun menarik Ibnu ‘Abbas dan menjadikannya tepat di sebelah kanan beliau. (Muttafaqun ‘alaihi)
Hal ini berbeda dengan apa yang dikatakan oleh sebagian ulama, “Bahwasanya hendaklah imam maju sedikit ke depan”, karena pendapat ini tidak ada dalilnya, bahkan justru dalil menyelisihi pendapat ini, yaitu hendaklah antara imam dan makmum sejajar apabila mereka hanya berdua.
Jangan Ada yang Menonjol Dadanya!
Kemudian dalam riwayat yang lain disebutkan, “Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa meluruskan shaf-shaf kami (para shahabat) seakan-akan meluruskan anak panah.” Maka jadilah shaf mereka benar-benar lurus dengan sempurna, sehingga tidak ada yang maju ataupun mundur walaupun sedikit.
Beliau biasa meluruskan shaf seperti meluruskan anak panah, sehingga apabila beliau melihat bahwasanya para shahabatnya telah memahaminya, yakni mereka telah paham dan tahu bahwasanya shaf harus lurus, beliaupun memulai shalatnya.
Kemudian pada suatu hari beliau keluar untuk melaksanakan shalat, tiba-tiba beliau melihat seseorang yang menonjol dadanya, maka beliaupun besabda, “Wahai hamba-hamba Allah, benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak) maka sungguh Allah akan palingkan antar wajah-wajah kalian.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian” sebabnya adalah semata-mata hanya karena beliau melihat seseorang menonjol dadanya, yaitu dada orang tersebut menonjol sedikit.
Bagaimana kalau beliau melihat shaf-shaf yang ada sekarang? Yang satu ke depan, yang satu lagi ke belakang, shaf mereka bengkok, tidak lurus dan tidak rapat? Bisa kita bayangkan apa yang akan diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat keadaan seperti itu?
Imam Shalat Hendaklah Memeriksa Shaf
Hadits ini menunjukkan kepada kita bahwasanya di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa beliau senantiasa memeriksa shaf, meluruskan dan merapatkan shaf. Kalau masih ada yang belum lurus atau belum rapat maka beliaupun meluruskannya bahkan mengancam -sebagaimana kisah di atas- kepada orang yang maju sedikit dari shafnya dengan ancaman ini, “Benar-benar kalian luruskan shaf-shaf kalian atau (kalau tidak) maka sungguh Allah akan memalingkan antar wajah-wajah kalian.”
Petunjuk ini harus diteladani oleh para imam shalat agar memeriksa, mengatur dan meluruskan shaf para makmum.
Kesimpulannya adalah wajib atas kita untuk menerangkan masalah ini kepada imam-imam masjid dan demikian juga kepada para makmum agar mereka memperhatikan perkara yang sangat berbahaya ini sehingga mereka benar-benar meluruskan dan merapatkan shafnya di dalam shalat.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala selalu membimbing kita kepada apa yang dicintai dan diridhai-Nya. Wallaahu A’lam.
Disadur dari Syarh Riyaadhush Shaalihiin hal.453-454 cetakan Maktabah Ash-Shafaa dengan beberapa tambahan dan perubahan.