Page

Rabu, 15 Agustus 2012

PENTINGNYA MEMILIKI NIAT UNTUK BERBUAT BAIK SETIAP HARI

Seorang yang beriman menjalani seluruh hidupnya berdasarkan Al Qur'an, dan berusaha menerapkan secara hati-hati dari hari ke hari apa yang telah ia baca dan pelajari dalam ayat-ayatnya. Dalam segala perbuatannya, sejak saat dia bangun di pagi hari sampai waktu dia tertidur di malam hari, dia memiliki niat bahwa dalam berpikir, berbicara dan bertindak itu harus sesuai dengan apa yang diajarkan dalam Al-Qur'an
Allah Menyatakan kepada kita dalam Al Qur'an bahwa pengabdian seperti ini yang mendominasi seluruh kehidupan orang yang beriman.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(Surat Al-An’am: 162)
Sejak saat seorang muslim memiliki iman, ia telah membuat keputusan untuk menghabiskan setiap saat dalam hidupnya untuk mendapatkan ridha Allah. Sejak saat itu, ia menunjukkan semangat rohani dan usaha yang besar baik dalam segi material maupun spiritual. Namun, karena kecenderungan yang melekat, seorang Muslim tidak pernah merasa bahwa imannya sudah berada pada tingkat yang cukup, sehingga selama belum sampai pada napas terakhirnya, ia selalu memiliki kesempatan untuk meningkatkan keimanannya di setiap saat dalam hidupnya.
Dengan demikian, maka setiap hari, setiap jam, setiap saat, dia harus sekali lagi membuat niat dalam hatinya untuk memperdalam imannya, memperbaharuinya dan berkomitmen untuk menghabiskan setiap saat dalam hidupnya dalam mengerjakan amal saleh sehingga mendapatkan ridhlo Allah.
Orang Yang Beriman Harus Memperbaharui Niatnya Setiap Hari
Pada saat ini, seperti saat kita sedang membaca artikel ini, kitapun dapat memperbaharui niat kita. Sejak saat ini, kita dapat berniat untuk menghabiskan waktu kita, menggunakan kesempatan kita, dan mengerahkan segenap kekuatan spiritual dan fisik kita untuk digunakan pada hal-hal yang jauh lebih berguna, penuh perhatian dan tulus
Kita bisa menilai setiap kesempatan dalam melaksanakan segala macam ibadah dengan penuh semangat. Kita bisa mengamati setiap kesempatan yang dapat menjadikan kita mendapatkan ridha Allah dan berlomba untuk melakukan amal saleh.
Kita bisa mengalami kemajuan dalam rangka mendapatkan ridha Allah jika tidak memiliki pemikiran seperti "Saya sudah membuat perbuatan yang baik ini, dan ini sudah cukup untuk hari ini," atau "Dibandingkan dengan orang lain di sekitar saya, saya sudah melakukan banyak usaha yang lebih besar, dan dalam hal apapun, saya lebih baik dari mereka",.
Apa yang dimaksud di sini adalah keadaan yang sangat berbeda dan khas dari pikiran. Tidak diragukan lagi, seorang Muslim menghabiskan setiap waktunya sesuai dengan moralitas Al-Qur'an. Namun, sikap seseorang yang membuat keputusan secara sadar dan tegas mengenai hal ini sangat jauh berbeda, untuk hati nurani seseorang yang seperti itu, hal ini sangat sensitif.
Dia sangat peduli terhadap apa yang terjadi di sekitarnya. Dia lebih waspada terhadap pekerjaan yang sulit, dibandingkan dengan orang yang lain. Dia adalah orang yang selalu berbicara dengan kata-kata terbaik. Dia lebih baik, lebih damai dan lebih positif dibandingkan dengan orang yang lain.
Dia adalah orang yang penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Dia lebih memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dan berusaha untuk memenuhinya, sebelum orang lain melakukannya. Dia selalu berpenampilan dengan gaya yang damai dan sesuai. Suasana hatinya sangat berbeda dan positif, dimana orang lain langsung bisa mengetahuinya.
Orang beriman Berniat untuk Hidup dengan Nilai Moral Yang Diajarkan oleh Allah dalam Al Qur'an dengan Cara Terbaik selama 24 Jam Sehari.
Apapun kondisinya, orang beriman tidak akan berkompromi dalam menunjukkan akhlak yang tinggi. Nilai-nilai mereka tidak berubah, mereka selalu menyesuaikan dengan apa yang Allah Perintah dan Ridhoi.
Mereka mengambil Muhammad Rasulullah (saw) sebagai suri tauladan mereka yang Allah Puji dalam Al Qur'an dalam kata-kata ini:
Dan sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung (Surat Al-Qalam: 4)
Hanya ada satu cara untuk selamat dari hancur dalam siksaan kekal api neraka, yaitu hidup menurut Al-Qur'an dan Sunnah, dimana dengan cara ini, Alloh Menghadiahkan kepada manusia "suatu kemenangan"
Hidup dalam Al-Qur’an dan Sunnah lah yang menyelamatkan manusia dari kebodohan, di mana mereka tenggelam, cara berpikir mereka yang primitif, lingkungan yang penuh dengan stres, karakter negatif, ketakutan yang tak berdasar, keyakinan yang sesat, dimana kesemuanya inilah yang merupakan penyebab dari disiksanya dalam neraka.
Dengan menerapkan hidup berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, mereka memperoleh pemahaman dan kebijaksanaan, nilai yang lebih tinggi, lingkungan yang wajar, penuh dengan ketenangan pikiran, dan yang terpenting adalah hidup di Surga yang penuh dengan berkah tiada akhir.
Hanya ada satu cara untuk menghapus semua kecemasan, pertempuran, perang, permusuhan, kemiskinan, kemelaratan dan kemarahan yang mengisi dunia: yaitu dengan hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an dan Sunnah Muhammad (saw). Tidak ada cara lain bagi seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan, kesejahteraan, keadilan, kasih dan damai yang dia inginkan
Hidup menurut Al-Qur'an dan Sunnah adalah semacam sebuah tameng terhadap ketidakadilan, konflik, ketidaksetaraan, iri hati, perang, ketidakseimbangan, kotoran, ketakutan, kefanatikan, kekejaman, kekerasan, amoral, dan hal lain seperti itu adalah solusi yang paling dasar bagi manusia agar mereka dapat hidup dengan nyaman, damai, penuh kebahagiaan dan keadilan.
Meskipun demikian, dan karena mereka telah berpaling dari moralitas agama yang benar demi keuntungan kecil, keuntungan duniawi dan kelemahan manusia itu sendiri, sebagian orang menimbulkan kerusakan besar pada diri mereka sendiri. Bagi manusia, dengan berpaling dari moralitas Al-Qur'an dan Sunnah, ini berarti bahwa ia akan tetap tidak sadar akan kebenaran yang merupakan hal yang sangat penting untuk diketahuinya.
Namun, sumber daya yang telah dikumpulkan oleh dia dan manusia fana seperti dia, tidak akan cukup untuk bertahan hidup dalam situasi dan masalah yang mereka hadapi di dunia. Orang-orang seperti mereka akan menghabiskan seluruh hidup mereka didalam kecemasan, kekhawatiran, stres, ketakutan dan kesulitan, dan tidak ada solusi untuk masalah mereka. Dan pada akhirnya, mereka akan menerima situasi ini sebagai suatu yang normal dan akan menghabiskan sisa hidup mereka dalam keadaan tertipu, dan mereka berpikir bahwa penderitaan mereka adalah "sebuah kenyataan hidup", padahal keadaan seperti itu sebenarnya merupakan hukuman karena tidak menjalani hidup dengan prinsip-prinsip moralitas agama.
A0078Orang-orang beriman yang mengikuti nilai-nilai yang ditetapkan oleh Allah dalam Al Qur'an dan membuat mereka menang atas setiap saat dalam hidup mereka, akan hidup dalam keadaan terbaik
Allah mengumumkan kabar baik untuk orang beriman dalam kata-kata berikut:
Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga). (Surat Saba: 37)
Orang beriman mengalami efek positif dari "memperbaharui niatnya" setiap hari. Tujuan seorang beriman yang memiliki sikap moral seperti ini (selalu memperbaharui niat) adalah agar menjadi salah seorang diantara "para hamba yang paling dicintai Allah." Untuk alasan seperti ini, saat dia bisa sepenuhnya mengadopsi sikap moralitas ini, ia sekali lagi berkeinginan untuk menjadi lebih tulus, lebih sensitif terhadap ridha Allah, dan lebih teliti, hal ini akan memperdalam moralitasnya dan bahkan lebih.
Hal ini berlanjut hingga akhir hidupnya, ia tidak pernah merasa bahwa usaha dan perbuatannya yang baik ini sudah mencukupi. Akibatnya, iman, moralitas, kepribadian dan sikapnya,  mengalami kemajuan terus menerus dan pada akhirnya mencapai kesempurnaan.
Dalam Qur'an, Allah Memberi tahu kepada kita tentang karakter Muslim seperti itu, berikut ini:
Orang-orang seperti itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Surat Al-Mu’minun: 61)
Dengan kehendak Allah, hidup sesuai dengan ajaran Al Qur'an dan Sunnah akan menjadikan orang untuk mampu mengembangkan suatu wawasan yang luas dari pemahaman, kecerdasan yang unggul, kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan salah, serta kemampuan untuk mempertimbangkan suatu hal secara mendalam.
Karakter-karakter seperti ini akan memastikan bahwa orang yang memiliki karakter-karakter tersebut, akan menjalani hidup setiap saat dalam kehidupannya dalam kemudahan yang berasal dari keuntungan-keuntungan ini.
Seseorang yang menjalani hidupnya dengan tunduk pada Allah dan sesuai dengan ajaran agama akan sangat berbeda dari orang lain dalam cara dia berperilaku, duduk dan berjalan, dalam sudut pandangnya dan bagaimana ia menjelaskan dan menafsirkan sesuatu hal, dan dalam solusi yang ia temukan untuk masalah-masalah yang menghadapinya.

http://id.harunyahya.com/id/works/107955/PENTINGNYA-MEMILIKI-NIAT-UNTUK-BERBUAT-BAIK-SETIAP-HARI

Sabtu, 04 Agustus 2012

'YANG DAPAT MEMBATALKAN WUDHU’


1. Kentut & Qadha’ Hajat

Firman ALLAH S.WT:

Wahai orang-orangyang beriman, berwuduklah apabila kamu ingin mendirikan solat... atau apabila ada antara karnu yang datang dari tempat membuang hajat. (Surah al-Maidah: 6)

Abu Hurairah r.a berkata, bahawa Rasulullah s.a.w bersabda:

ALLAH tidak akan menerima solat seseorang apabila dia telah berhadas sehingga dia kembali berwuduk. Seorang lelaki daripada Hadramaut bertanya: Apakah yang dimaksudkan dengan hadas wahai Abu Hurairah? Jawabnya: Kentut. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

2. Keluar air mazi.

Ali bin Abu Talib r.a berkata:

Aku adalah lelaki yang paling banyak keluar air mazi. Lalu aku perintahkan seorang lelaki bertanya kepada Nabi s.a.w menggunakan nama anak perempuanya (Fatimah). Lalu dia bertanya kepada baginda. Lantas haginda menjawab: Berwudhu’lah dan basuhlah kemaluanmu. (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ibn al-Mundziri r.h bcrkata:

“Memang tsabit daripada hadis Rasulullah s.a.w rnengenai kewajipan berwudhu’ bagi air mazi (yang keluar)” (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 133)

Al-Nawawi r.h berkata:

“Mengenai hukum keluar air mazi, ijmak ulama bahawa tidak wajib mandi junub. Abu Hanifah, Syafie, Ahmad dan jumhur berpendapat, wajib berwuduk berdasarkan hadis ibi.” (Rujuk Syarh Sahih Muslim, jil. 3, ms. 212)

3. Keluar al-Wadi

Ibn Abbas a berkata:

Berhubung dengan air mani, wajib mandi junub. Mengenai air mazi dan wadi, dia hendaklah membasuh kemaluannya serta bewuduk. (Hadis riwayat Abdul Razzaq dalam Musannaf, jil. 1, ms. 159 dengan sanad sahih)

Ibn al-Mundzir r.h berkata:

“Mengenai air wadi, ia sesuatu yang keluar daripada zakar selepas kencing. Oleh itu, wudhu’ wajib selepas kencing. Jadi, apa sahaja yang keluar daripada zakar sudah tentu diwajibkan berwuduk sebagaimana wajib berwuduk apabila keluar air kencing.” (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 136)

4. Keluar air mani

Ini berdasarkan riwayat Ibn Abbas r.a yang dinyatakan sebelum ini melalui Musannaf Abdul Razzaq.

5. Sesuatu yang keluar secara berterusan seperti darah istihadhah dan sebagainya.

Nabi s.a.w memerintahkan agar wanita yang mengalami darah istihadhah berwuduk setiap kali solat berdasarkan hadis yang diriwayat oleh Bukhari dalam kitab al- Wuduk, bab: Ghuslu al-Dam (228) dan Muslim, kitab al-Haid (333)

6. Tidak perlu berwudhu' apabila waswas.

Abu Hurairah r.a. berkata bahawa Rasulullah s.a.w bersabda:

Apabila seseorang antara kamu merasakan sesuatu yang tidak kena pada perutnya lalu waswas sama ada dia kentut atau tidak, dia tidak perlu keluar daripada masjid kecuali selepas dia mendengar bunyi atau terhidu bau kentut. (Hadis riwayat Muslim)

7. Tidur atau Tidak Tetap Punggung

Safwan bin ‘Assal r.a. berkata:

“Rasulullah s.a.w memerintahkan kami agar tidak mencabut kasut ketika musafir selama tiga hari tiga malam kecuali jika berjunub, buang air besar, air kecil atau tidur” (Hadis riwayat Ahmad, al-Nasaai dan al-Tirmizi. Al-Tirmizi mensahihkannya)

Berselisih pendapat sama ada tidur boleh membatalkan wudhu’ atau sebaliknya. Namun, terdapat beberapa hadis sahih yang menjelaskan bahawa tidur yang lena dan tetap punggungnya tidak perlu berwudhu’.

Anas r.a berkata:

“Suatu ketika, para sahabat Rasulullah s.a.w menunggu solat isyak sehingga tersengguk-sengguk kepala mereka kerana Nabi s.a.w melewatkannya. Setelah baginda bersiap untuk menunaikan solat, mereka bangun bersolat tanpa memperbaharui wuduk.” (Hadis riwayat Muslim, Abu Daud dan al-Tirmizi)

Ibn ‘Abbas r.a berkata:

Aku telah bermalam di rumah ibu saudaraku Maimunah (isteni Nabi). Rasulullah s.a.w bangun untuk menunaikan solat malam. Lain, aku bangun berdiri di sebeiah kirinya. Kemudian, baginda menanik tanganku hingga menjadikan aku berada di sebeiah kanannya. Setiap kali kepalaku tersengguk kerana mengantuk, baginda akan menarik telingaku. Baginda melakukan solat itu sebanyak 11 rakaat. (Hadis riwayat Muslim)

Menurut pendapat paling sahih, apabila seseorang tidur tetapi tetap punggungnya di bumi dan sebagainya, wuduknya tidak terbatal berdasarkan beberapa hadis di atas. Namun, yang afdalnya ialah berwuduk apabila tertidur berdasarkan maksud hadis secara umum.

8. Menyentuh Wanita Ajnabi.

Ulama berbeza pendapat dalam menentukan hukum menyentuh wanita ajnabi tanpa berlapik. Ini kerana, perselisihan mereka dalam mentafsjrkan firman ALLAH di bawah:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman ,kamu hendaklah berwudhu’ apabila ingin mendirikan solat... Kamu juga mesti berwudhu’ walaupun ketika sakit, musafir, berhadas kecil atau menyentuh wanita.” (Surah al-Maidah: 6)

Sentuhan menurut pengertian bahasa ialah merasai sesuatu dengan tangan atau bertemu kulit sesama manusia. Namun, menurut Ibn ‘Abbas r.a (sahabat Nabi s.a.w yang digelar sebagai pakar tafsir al-Quran) berpendapat bahawa kalimah لامَس atau لمَس yang dikehendaki dalam ayat ialah (persetubuhan).

Ini kerana, menurut pemahaman orang arab apabila dikatakan لامست
المراة bermaksud (aku bersetubuh dengannya). Pendapat ini dikuatkan lagi dengan firman ALLAH S.WT:

Maryam berkata: Ya TUHAN-ku, mana mungkin aku mernpunyai seorang anak sedangkan aku belum pernah disentuhi lelaki. (Surah Alii Imran: 47)

Sebahagian ulama menggunakan firman ALLAH yang bersifat umum untuk menguatkan hujah bahawa menyentuh perempuan membatalkan wudhu’.

Firman ALLAH S.WT:

Al-Quran itu tidak boleh disentuh melainkan orang-orang yang suci. (Surah al-Waqi’ah: 79)

Begitu juga maksud sabda Rasulullah s.a.w yang difahami secara urnum. Sedangkan, majoriti ulama berpendapat bahawa yang dimaksudkan dengan طاهر (suci) di sini ialah iktikad yang suci daripada syirik.

Abu Bakar bin Muhammad bin ‘Amru bin Hazm daripada ayah dan datuknya:

Sesungguhnya Nabi s.a.w telah memerintahkan sahabatnya menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman yang terkandung dalam isi kandungannya: Al-Quran tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci. (Hadis riwayat al-Darimi dan Malik)

Penggunaan kalimah itu hakikatnya secara kiasan semata-mata. Ini kerana, perbuatan syirik menurut fahaman salafussoleh termasuk amalan yang boleh dianggap najis.

Dikuatkan lagi dengan firman ALLAH yang berbunyi:

“Sesungguhiya orang musyrikin itu najis.” (Surah al-Taubah: 28)

Begitu juga sabda Rasulullah s.a.w:

“Sesungguhnya orang mukrnin tidak najis.” (Hadis riwayat Bukhari, Muslim, al-Nasaai, Ibn Majah dan Ahmad)

Menurut Tafsir Ibn Kathir, al-Quran tidak boleh disentuh (diambil) daripada اللوح المحفوظ (tempat simpanan khazanah perbendaharaan ALLAH termasuk al-Quran) kecualiالمطهرون (para malaikat al-Muqarrabun) yang berada paling hampir dengan ALLAH. Ini kerana, ALLAH kaitkan ayat sebelumnya yang bermaksud:

“Sesungguhnya, itulah al-Quran yang mulia. Ia berada dalam kitab yang terjaga rapi (di lauh mahfuz). Tidak ada seorang pun yang boleh meryentuhnya kecuali orang-orang yang suci (malaikat).” (Surah al-Waqi’ah: 77 – 79)

Banyak hadis sahih yang membicarakan tentang sentuhan Nabi s.a.w dengan para isterinya. Namun, baginda tetap meneruskan solat tanpa memperbaharui wudhu’nya.

Aisyah r.a berkata:

“Rasulullah s.a.w telah mendirikan solat sedangkan aku berada di hadapannya (melintang) seperti jenazah yang terbujur ketika disolatkan. Apabila ingin menunaikan solat witir baginda akan mengejutkanku dengan hujung kakinya.” (Hadis riwayat al-Nasaai. Al-Hafiz Ibn Hajar menyatakan bahawa sanad hadis ini sahih di dalam Kitab al-Talkhis)

Aisyah r.a berkata:

Nabi s.a.w telah mencium salah seorang isterinya. Kemudian baginda menunaikan solat tanpa memperbaharui wudhu’nya. (Hadis riwayat Abu Daud dan al-Nasaai)

Aisyah r.a berkata:

“Suatu malam, aku kehilangan Rasulullah s.a.w daripada tempat tidurku. Aku telah menyentuhnya lalu meletakkan tanganku ke atas kedua-dua belah tapak kakinya yang sedang ditegakkan. Ketika itu, baginda sedang berada di dalam majid sambil aku mendengar baginda berdoa: ... (Hadis diriwayatkan oleh Muslim dan al-Nasaai. Al-Tirmizi mensahihkannya)

Pendapat terpilih, tidak mengapa tidak berwudhu’. Hujah saya, jika perkara itu diwajibkan dan berdosa apabila meninggalkannya atau ia hanya dikhususkan kepada Nabi s.a.w, pasti terdapat dalil yang sahih lagi sarih melarang perbuatan itu.

Sedangkan, ada sebahagian hadis yang sahih menyebut bahawa Nabi s.a.w tidak berwudhu’ ketika bercumbu-cumbuan dengan isteri-isterinya. Inilah pendapat yang saya pegang sebagaimana pendapat sebahagian ulama Syafie seperti Ibn Hajar al-Asqalani, al-Nasaai dan selainnya.

Oleh itu, jika hadis di atas merupakan pengkhususan kepada Nabi sa.w, maka perlu didatangkan dalil yang menerangkan perkara Iitu.

9. Menyentuh kemaluan.

Busrah binti Safwan r.a berkata bahawa Rasulullah s.a.w bersabda:

Janganlah menunaikan solat sebelum berwudhu’ bagi sesiapa jang menyentuh kemaluannya. (Hadis riwayat Ahmad, al-Tirmizi, al-Nasaai, Abu Daud dan Ibn Majah. Al-Tirmizi mensahihkannya)

Al-Bukhari r.h berkata:

“Inilah hadis paling sahih dalam bab membicarakan terbatal wuduk menyentuh kemaluan.” (Rujuk Nail al-Autor, jil.l. ms. 189)

Namun, hadis di atas tidak terlepas daripada kritikan ahli hadis mengenai martabat kesahihannya. Inilah pendapat yang dipegang oleh sebahagian salafussoleh seperti Ali, Ibn Mas’ud, ‘Ammar, Hasan al-Basri, Rabi’ah, al-’Utrah, al-Tsauri, Abu Hanifah dan pengikutnya serta selain mereka berdasarkan hadis di bawah.

Talaq bin Ali r.a berkata:

Rasulullah s.a.w ditanya: Apabila seorang lelaki menyentuh kemaluannya, adakah dia perlu berwuduk? Jawab baginda: Bukankah ia hanya sebahagian daripada anggota badanmu. (Hadis riwayat Ahmad, al-Tirmizi, al-Nasaai, Abu Daud, Ibn Majah dan al-Daruqutni. Hadis ini diklasifikasikan sebagai sahih oleh Amru bin Ali al-Falas, Ibn Hibban, al-Tabrani dan Ibn Hazm)

‘Amru bin Ali al-Falas r.h berkata:

“Hadis ini lebih tsabit daripada hadis Busrah.”

Ali bin al-Madini berkata:

“Menurut kami, inilah hadis terbaik berbanding hadis Busrah.”

Al-Thohawi berkata:

“Sanad hadis ini mustaqim, iaitu tidak mudhorib (bercampuk-aduk dengan lafaz lain). Berbeza dengan hadis riwayat Busrah.”

Oleh kerana kedua-dua hadis di atas tidak dapat ditarjihkan dan terdapat kritikan pada sanad, pendapat terpilih ialah afdhal berwuduk apabila menyentuh kemaluan dan diyakini tidak terkena najis. Tetapi, solat orang yang tidak memperbaharui wuduk tetap sah sama ada berlapik atau tidak kerana tidak ada dalil sarih (jelas) mengenainya. Begitu juga sama ada bersyahwat atau sebaliknya.

Manakala hukum tidak batal wuduk apabila berlakunya persentuhan dengan belakang tapak tangan, tidak dapat dipastikan kesahihan pendapat itu. Ia hanya pendapat tanpa asal-usul yang dapat dikaji masih boleh.

10. Makan daging unta.

Jabir bin Samurah r.a berkata:

“Seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Adakah kami perlu memperbaharui wudhu’ apabila memakan daging kambing? Jawab baginda: Jika kamu mahu, berwudhu’lah. Jika sebaliknja, tidak mengapa. Ditanya lagi: Adakah kami perlu berwudhu’ apabila memakan daging unta? Jawab baginda: Ya. Berwudhu’lah apabila memakan daging unta. Ditanya lagi: Bolehkah kami solat di kandang kambing? Jawab baginda: Boleh. Ditanya lagi: Bolehkah kami solat di kandang unta? Jawab baginda: Tidak. (Hadis riwayat Ahmad dan Muslim)

Ibn al-Mundziri r.h berkata:

“Wajib berwuduk selepas makan daging unta kerana tsabit melalui hadis dan sanad.” (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 138)

Ibn Qudamah r.h berkata:

“Makan daging unta membatalkan wudhu’ serta merta sama ada dimakan secara mentah atau dimasak dan dalam keadaan tahu atau jahil.” (Rujuk al-Mughni, jil. 1, ms. 250)

11. Hilang akal kerana gila, pengsan dan sebagainya. Aisyah r.a berkata:

Nabi s.a.w. berada dalam keadaan sakit yang tenat. Baginda pun bertanya kepadanya: Adakah orang ramai telah solat? Jawab Aisyah:

Belum. Mereka menunggu engkau. Baginda berkata: Bawakan air wudhu’ yang berada dalam Mikhdhab (sejenis bekas) itu untukku. Aisyah berkata: Aku pun melakukannya. Lalu baginda membasuh (berwudhu’). Tiba-tiba sakit itu menyerang lagi dan baginda terus pengsan.

Apabila sedar baginda bertanya lagi: Adakah orang ramai telah solat? Jawab Aisyah: Belum. Mereka menunggu engkau. Baginda berkata: Bawakan air wudhu’ yang berada dalam Mikhdhab (sejenis bekas) itu untukku. Aisyah berkata: Baginda duduk lalu membasuh (berwudhu’). Tiba-tiba sakit itu menyerang lagi dan baginda terus pengsan.

Apabila sedar baginda bertanya lagi: Adakah orang ramai telah solat? Jawab Aisyah: Belum. Mereka menunggu engkau. Baginda berkata: Bawakan air wudhu’ yang berada dalam Mikhdhab (sejenis bekas) itu untukku. Aisyah berkata: Baginda duduk lalu membasuh (berwudhu’). Tiba-tiba sakit itu menyerang lagi dan baginda terus pengsan.” (Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Ibn al-Mundzir r.h berkata:

“Ulama sepakat mewajibkan berwudhu’ bagi sesiapa yang tidak sedar disebabkan gila atau pengsan. Kami telah meriwayatkan dengan sanad yang tsabit daripada Rasulullah s.a.w bahawa baginda telah mengalami sakit lalu berwudhu’ sehingga menyebabkan baginda pengsan.” (Rujuk al-Ausot, jil. 1, ms. 155. 156)