Page

Senin, 09 April 2012

FIQH PERBANDINGAN KEDUDUKAN WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN KAJIAN FIQH PERBANDINGAN

www.ppmdi.com
Oleh: Kholid Ma’mun
A. Pendahuluan
Salah satu ajaran yang terpenting dalam Islam adalah pernikahan (perkawian). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan. Bila kita amati secara mendalam, maka salah satu maksud disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt adalah untuk memelihara keturunan. Pernikahan disyariatkan oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya lembaga perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian, maka persoalan perkawinan yang diatur sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa di kesampingkan begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus diikuti dan dipelihara.
Tujuan mendirikan rumah tangga yang kekal dan harmonis yang diikat oleh tali pernikahan merupakan hal yang suci. Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa tujuan yang mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan. Suatu tugas mulia bisa saja tidak mencapai sasaran yang diharapkan bila kendalinya dipegang oleh orang yang tidak pantas untuk itu, termasuk dalam pembinaan rumah tangga. Apabila suami istri atau salah seorang dari mereka belum memiliki kedewasaan, baik fisik ataupun rohani, maka pembinaan rumah tangga itu akan menjadi sulit. Menurut Dr. Sarlito Wirawan Sarwono, orang muda yang akan menempuh kehidupan rumah tangga hanya dapat mengartikan cinta sebagai suatu keindahan dan romantisme belaka. Mereka baru memiliki cinta emosi, karena belum diikat oleh rasa tanggung jawab yang sempurna.
Dalam ajaran agama Islam di katakan bahwa: semua tindakan dan prilaku yang kita lakukan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Allah swt dan masyarakat, termasuk dalam pembinaan kehidupan rumah tangga. Prilaku yang bertanggung jawab merupakan salah satu indikasi kedewasaan. Dalam hal ini, tanggung jawab mengandung dua hal penting. Pertama, orang yang bertanggung jawab harus dapat bereaksi dan bertindak secara tepat dalam setiap situasi dan masalah. Kedua, ialah berani menghadapi kenyataan, tidak lari dari kenyataan. Ia mau menerima resiko dari segala perbuatanya, tidak membohongi orang lain, apalagi membohongi dirinya sendiri. Karena perlunya rasa tanggung jawab inilah maka dalam perkawinan Islam memiliki rukun dan Syarat tertentu yang harus dipenuhi. Dan yang termasuk dalam syarat sahnya pernikahan adalah adanya wali dan saksi, maka dalam makalah ini pemakalah ingin mencoba mengupas tentang kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan.
Menurut Imam Malik dan Syafi’i, salah satu syarat sahnya nikah ialah adanya wali. Namun demikian, Daud Al-Zhahiri berpendapat bahwa wali hanya diperlukan bagi perawan. Daud berpendapat demikian tampaknya dikarenakan ia memandang perawan sebagai orang yang belum mampu memikul tanggung jawab secara penuh atau belum dewasa. Karena wanita janda dinilainya telah mengetahui arti rumah tangga dan mengetahui akan tanggung jawabnya, ia tidak disyaratkan memakai wali dalam pernikahan. Pendirian yang hampir sejalan dengan pendapat Daud itu terlihat pula pada pendapat Abu Hanifah yang tidak mensyaratkan adanya wali asalkan suami dari wanita itu sebanding (sekufu). Abu Hanifah dan muridnya, Abu Yusuf, malah membolehkan wanita menikahkan dirinya asalkan wanita itu waras dan dewasa, dan tidak harus janda. Menurutnya, adanya wali dalam pernikahan hanyalah sunat saja, yaitu untuk memelihara kehormatan dan kemuliaan wanita. Inilah sedikit gambaran pendahuluan pembahasan makalah dengan tema “kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan” untuk lebih jelasnya pemakalah akan menjelaskan mulai dari definisi nikah, pendapat ulama tentang kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan, dalil yang di pakai sebagai argumen, wajh dilalah, munaqasyah dalil, asbabul khilaf, dan pendapat yang relevan dalam masalah tersebut.
B. Pegertian Nikah (zawaj)
Nikah secara etimologi adalah “mengumpulkan, atau pengibaratan dari setubuh, hubungan seksual dan akad”. Sedangkan Nikah dalam bahasa syara’ disebut dengan “akad perkawinan, ikatan perkawinan”. Adapun nikah secara terminologi adalah “suatu akad yang didalamnya mengandung makna diperbolehkanya istimta’ (bersenang-senang) terhadap perempuan. Baik dengan cara bersetubuh, senggama, mencium, bercampur atau berkumpul ataupun dengan cara yang lainya. Dan itu semua dilakukan kepada wanita yang selain mahramnya baik secara nasab, persusuan ataupun hubungan kerabat karena pernikan”.
Lafadz Nikah mengandung tiga macam pengertian:
1. Menurut bahasa, ”nikah” berarti “berkumpul” atau “menindas” dan “saling memasukan”.
2. Menurut Ahli Usul, “nikah” berarti:
a. Menurut ahli usul hanafiyah-nikah- menurut aslinya berarti bersetubuh, dan secara majazi (metaphoric) ialah” akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dengan wanita.
b. Ahli Usul Syafi’iyah mengatakan, nikah menurut aslinya ialah akad yang menghalalkan hubungan kelamin antara pria dan wanita sedang menurut arti majazi ialah bersetubuh.
c. Abu Qasim al-Zajjad, Imam Yahya, Ibn Hazm dan sebagian Ahli Usul dari sahabat Abu Hanifah berpendapat bahwa nikah mengandung kedua arti sekaligus, yaitu sebagai akad dan setubuh.
C. Rukun Nikah
Berikut ini adalah rukun nikah menurut madzhab Syafi’iyah:
1. Shighoh
2. Pengantin perempuan
3. Dua orang saksi
4. Pengantin laki-laki
5. Wali.
Rukun nikah menurut jumhur:
1. Shigat (ijab dan qabul)
2. pengantin perempuan
3. pengantin laki-laki
4. wali
D. Definisi Rukun
Rukun menurut madzhab Hanafiah adalah: sesuatu yang terhenti sebab tidak adanya sesuatu tersebut dan dia masuk didalam hakikat sesuatu tersebut. Sedangkan syarat menurutnya adalah: sesuatu yang terhenti sebab tidak adanya sesuatu tersebut dan dia tidak masuk didalam hakikat sesutau tersebut.
Sedangkan rukun menurut Jumhur adalah: sesuatu yang harus ada, sesuatu yang tidak mungkin kecuali dengan keberadaanya, atau sesuatu yang harus dan tidak boleh tidak. Sedangkan syarat adalah: sesuatu yang terhenti sebab tidak adanya sesuatu tersebut dan dia tidak termasuk didalamnya.
Semua ulama bersepakat bahwa ijab dan qabul merupakan rukun nikah.
Rukun nikah menurut hanafiah ada dua yaitu: ijab dan qabul.
Sedangkan rukun nikah menurut jumhur ada empat yaitu: shigat (ijab dan qabul) zaujah (pengantin perempuan), zauj (pengantin laki-laki), wali yaitu mereka yang saling melakukan aqad. Sedangkan ma’qud alaih (yang di ucapkan) yaitu lafadz istimta’. Sedangkan mahar tidak berpengaruh terhadap akad. Akan tetapi termasuk syarat sebagimana syahid (saksi).
Ijab menurut ulama Hanafiah: sesuatu yang di ucapkan di awal baik dari pengantin laki-laki atau pengantin perempuan. Sedangkan qabul menurutnya adalah: sesuatu yang datang setelahnya yang datang dari pihak lain.
Sedangkan ijab menurut jumhur adalah: lafadz yang berasal dari wali atau orang yang mewakilinya, sedangkan qabul adalah: lafadz yang menunjukan keridhoan terhadap suatu pernikahan yang di ucapkan dari zauj (mempelai laki-laki). misal: apabila seorang laki-laki mengatakan kepada seorang wanita: aku nikahkan diriku denganmu, kemudian wanita tersebut menjawab: aku terima nikahmu. Contoh ucapan seperti ini menurut Hanafiyah lafadz pertama-yang diucapkan oleh laki-laki- (aku nikahkan diriku denganmu). Disebut dengan ijab sedangkan lafadz yang kedua-yang diucapkan oleh perempuan- (aku terima) disebut dengan qabul. Sedangkan menurut jumhur sebaliknya.
E. Perwalian (الولاية )
1. Definisi perwalian:
Al wilayah/ perwalian secara etimologi adalah “النصرة “ pertolongan atau bantuan, dan mengerjakanya seseorang terhadap pekerjaan orang lain”. Sedangkan secara terminologi fuqaha wali adalah “mampu untuk melaksanakan akad dan tasharruf, yang bisa terlaksana atas izin seseorang”.
Atau juga perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan “wilayah” yang berarti penguasaan” dan “perlindungan” menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian ialah penguasaan penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan melindungi orang atau barang.
Penguasaan dan perlindungan ini disebabkan oleh:
a. pemilikan atas orang atau barang, seperti perwalian atas budak yang dimiliki atau barang yang dimiliki.
b. hubungan kerabat atau keturunan, seperti perwalian seseorang atas salah seorang kerabatnya atau anak-anaknya.
c. karena memerdekakan seseorang budak, seperti perwalian seseorang atas budak-budak yang telah dimerdekakanya.
d. karena pengangkatan seperti perwalian seseorang kepala negara atas rakyatnya atau perwalian seseorang pemimpin atas orang-orang yang dipimpinya.
2. Pembagian wilayah
Secara garis besar, perwalian dapat dibagi atas:
a. perwalian atas orang
b. perwalian atas barang
c. perwalian atas orang dalam perkawinanya.
Sedangkan dalam penjelasan kitab “al Fiqh al Muqaran li al ahwal asysakhsyiah baina al Madzahib al Arba’ah as Sunniyah wa Al Madzahib al Ja’fari wa al Qanun” pembagian wilayah/ perwalian sebagaimana berikut:
a. wilayah qashirah (terbatas)
b. wilayah muta’adiyah (tidak terbatas)
wilayah qashirah (terbatas) adalah: perwalianya seseorang terhadap dirinya sendiri dan juga hartanya, dan ini akan terjadi secara otomatis apabila seseorang menjadi merdeka, baligh, dan juga berakal.
Sedangkan wilayah muta’adiyah adalah (tidak terbatas) yaitu perwalianya seseorang terhadap selain dirinya. Dan perwalian ini tidak terjadi kecuali mereka sudah bisa menjadi wali bagi dirinya sendiri. Perwalian muta’addiyah ini terjadi terbagi menjadi dua yaitu: ashliyah (asli) dan niyabah (tidak asli/ walil). Adapun yang asli adalah perwalian yang memang sudah secara otomatis/ tidak di dapatkan dari orang lain seperti halnya ayah dan kakek perwalian ini terjadi dikarenakan sebab ubuwah (menjadi ayah). Adapun perwalian niyabah (wakil) adalah perwalian yang di dapat dari selain keduanya sebagaimana perwalianya qadhi, washi (mushi/ yang meninggalkan warisan) karena qadhi mendapatkan perwalianya dari hakim dan imam dialah yang menjadi wakil semua urusanya.
Keberadaan wali dalam sebuah akad nikah merupakan salah satu syarat sahnya nikah, adapun syarat sahnya nikah sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah Zuhaili dalam “al Fiqhu al Islami wa ‘adillatuhu” adalah sebagaimana berikut
1. Almahalliyah al far’iyyah: maksudnya wanita yang dinikah tidak haram muaqqat, haram syubhat, diperselisihkan para fuqaha, seperti halnya menikahi perempuan yang ditalaq bain tetapi masih dalam masa iddah, menikahi saudara perempuan istri yang ditalaq sedangkan dia masih dalam masa iddah, menikahi dua saudara kandung.
2. Sighat ijab kabul harus menggunakan shigat muabbadah (untuk selamanya).
3. Adanya saksi
4. Ridha dan tidak ada paksaan
5. Ta’yin (pernyataan) baik dari suami ataupun istri
6. Pengantin laki-laki, perempuan dan juga wali tidak dalam kedaan ihram haji ataupun umrah.
7. Adanya shadaq/ mahar (mas kawin).
8. Tidak adanya tawathu’ (kompromi) antara suami dengan para saksi untuk merahasiakan pernikahan.
9. Zaujain (pengantin laki-laki da perempuan) tidak dalam keadaan sakit (sakit yang membahayakan).
10. Adanya wali
Dalam penjelasan ini pemakalah tidak membahas semua syarat akan tetapi hanya akan membahas tentang wali.
3. Istilah perwalian dalam pernikahan.
Didalam pernikahan dikenal beberapa macam nama wali (orang yang berhak menjadi wakil dari pihak perempuan dalam suatu pernikahan) :
1. Wali mujbir
2. Wali nasab
3. Wali hakim
1. Wali mujbir (wali dengan hak paksa).
Ialah wali nikah yang mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam batas-batas yang wajar. Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan keatas dengan perempuan yang akan menikah. Sedangkan mereka yang termasuk dalam wali mujbir adalah ayah dan seterusnya keatas menurut garis patrillineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Kebolehan wali mujbir ini dengan syarat-syarat:
1. Jika putrinya dinikahkan dengan laki-laki sekufu
2. Jika mahar yang diberikan calon suami sebanding dengan kedudukan putrinya (mahar mitsl).
3. Jika tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan.
4. Jika tidak ada konflik kepentingan antara wali mujbir dengan putrinya denga laki-laki (calon suaminya).
5. Jika putrinya tidak mengingkarkan ia tidak perawan lagi.
Dasar hukum yang membolehkan kawin paksa diantaranya ialah:
a. Sabda Rasulullah saw:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يزوجها أبوها (رواه الدار قطني)
“janda itu lebih berhak mengatur dirinya dari pada walinya, sedangkan gadis, bapaknya boleh mengawinkanya” (HR. Ad Daruquthni)
2. Nabi Muhammad saw mengawin siti Aisyah ra ketika berumur 6 tahun
Meskipun wali mujbir dibolehkan untuk memaksakan putrinya untuk menikah dengan laki-laki tetapi sangat dianjurkan minta persetujuan putrinya terlebih dahulu.
Disamping kekuasaan wali mujbir menjadi hilang apabila putrinya telah janda, maksudnya seorang wali mujbir tidak berhak untuk memaksa putrinya yang telah janda untuk dinikahkan dengan laki-laki, sebagaimana yang terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 232:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui”.
2. Wali Nasab
Wali nikah yang memiliki hubungan keluarga calon pengantin perempuan, wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung, bapak, paman, beserta keturunanya menurut garis patrilineal (laki-laki).
3. Wali Hakim
Wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak (calon suami istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan Qadhi
4. Pendapat ulama tentang wilayah
-permasalahan-
Bagaimanakah apabila wanita menikah tanpa adanya wali?
1). Pendapat pertama ( Jumhur ulama -selain hanafiyah)-tidak sah nikahnya-
Dalil argumen pendapat pertama:
Al Qur’an: surat Al Baqarah ayat 232:
Artinya: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya (al Baqarah 232)
Imam Syafi’i berkomentar tentang ayat diatas “ayat di atas menunjukan dengan jelas tentang posisi wali”
Argumen kedua hadits Rasulullah saw:
لانكاح الا بولي (رواه الخمسة)
Artinya: tidak ada nikah (tidak sah) nikah kecuali dengan adanya wali. (H.R. Al Khamsah)
Hadits ini menafikan hakikah syar’iyah dengan hadits Aisyah
“ايما إمرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل باطل باطل فان دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فان اشتجروا فا السلطان ولي من لا ولي له (رواه أحمد والاربعة إلا النسائ وصححه الترمذى وابو عوانة وابن حبان والحاكم وابن معين وغيره من الحفاظ.
Artinya: wanita manapun yang menikah dengan tanpa ada izin dari walinya maka hukum pernikahanya bathil, bathil, bathil. Apabila dia di dukhul maka mahar berhak baginya karena dia telah di dihalalkan farjinya maka apabila mereka berseteru (isytajaruu) maka sulthan wali orang yang tidak ada walinya. (H.R. Ahmad dan Arba’ah kecuali An Nasa’i, dan di anggap sahih oleh At Tirmidzi, Abi Awanah, Ibn Hibban, Hakim, Ibn Ma’in dan Huffadz yang lainya).
Dan argumen ke tiga hadits Rasulullah saw:
لا تزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه إبن ما جه والدار قطني ورجاله ثقات عن أبي هريرة
Artinya: wanita tidak sah menikahkan wanita lain dan wanita tidak sah menikahkan dirinya sendiri (H. R. Ibnu Majah, ad Daruqutni, dan rijalny tsiqot dari Abi Hurairah).
Dalil hadits ketiga ini menunjukan bahwa tidak boleh bagi wanita untuk menjadi wali dalam pernikahan baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi orang lain.
2). Pendapat kedua –Hanafiyah-dalam dzhahir riwayat-dari Abu Hanifah dan Abu Yusuf r.a. bahwa bagi wanita yang berakal, baligh, bisa menikahkan dirinya sendiri dan juga menikahkan anaknya yang masih kecil. Serta bisa mewakili orang lain akan tetapi apabila menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak sekufu maka bagi walinya boleh menentangnya. Atau dengan pengertian yang lain: bahwa nikahnya seorang wanita baik perawan atau janda yang yang baligh berakal walaupun tanpa ada wali. Atau dengan bahasa lain bahwa wilayah (perwalian) sunah hukumnya. Sedangkan menurut Muhammad (Muhammad As Syibani) hukumnya adalah: sah tetapi mauquf.
Dalil argumen kelompak kedua:
Al Qur’an surat Al Baqarah ayat ke 230:
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain”.
Al Qur’an surat al Baqarah ayat 232:
“ Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya”.
Wajh ad dilalah: bahwa pada ayat diatas khitab untuk azwaz (suami-suami) dan bukan untuk wali sebagaimana yang di katakan oleh jumhur.
Al Qur’an surat al Baqarah ayat 234:
“Kemudian apabila Telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut”.
Dalil kedua dari kelompok kedua, Sunah riwayat Muslim dari Ibnu Abbas:
الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر وإذنها سكوتها ({واه مسلم عن ابن عباس) وفي لفظ: (ليس للولي مع الثيب أمر واليتيمة تستأمر) رواه أبو داود والنساء وصححه وابن حبان
Artinya: Janda lebih berhak atas dirinya dari pada walilnya dan perawan diminta (ditanya) dan diamnya menujukan atas izinya. (H.R. Muslim dari Ibnu Abas).
Dalam riwayat lain dikatakan:
لا تنكح الايم التي فارقت زوجها بطلاق أو موت حتى تستأمر ولا تنكح البكر حتى تستأذن قالوا يا {سول الله وكيف إذنها ؟ أن تسكت (متفق عليه عن أبي هريرة)
Artinya: seorang janda yang di cerai atau ditinggal mati suaminya tidak boleh dinikahi sehingga diperintah, dan perawan tidak dinikahi sehingga dimintai izin, kemudian para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw: bagaimana bisa diketahui izinya? Izinya yaitu diam. (H. R. Muttafaq ‘alaih hadits dari Abu Hurairah).
Pada hadits diatas jelas dikatakan bahwa wanita diberikan hak baik janda ataupun perawan. Akan tetapi karena syara’ memandang kalau wanita sangat mempunyai rasa malu maka dari itu syara menggunakan bahasa “ridha” dan itu bukan berarti aqad tersebut sah secara langsung.
3. Kelompok ketiga ( pendapat Abi Tsaur dari Syafi’iyah)
Kelompok ini mengatakan bahwa suatu pernikahan harus mendapatkan izin baik dari wanita (calon istri) dan juga walinya. Dan apabila salah satunya saja yang mengizinkan untuk menikah maka tidak pernikahan tidak sah. Dan apabila keduanya telah ridha maka masing-masing dari wanita dan juga wali berhak untuk melangsungkan akad, hal ini dikarenakan wanita mempunyai hak penuh dalam tasharruf.
Pendapat penulis:
Menurut hemat penulis, mungkin pendapat yang ketiga inilah (pendapat yang di kemukakan oleh Abu Tsaur as Syafi’i ) inilah yang terbaik, dengan tujuan agar pernikahan tidak retak, dan untuk menutup pintu perceraian, dalam artian masing-masing pihak (baik wali ataupun perempuan yang akan melangsungkan pernikahan), hendaknya jangan memaksakan keinginanya, akan tetapi hendaknya dimusyawarahkan, didiskusikan terlebih dahulu manakah yang terbaik? Baru mengambil keputusan, meskipun sudah dipertimbangkan secara matang, tidak berarti sudah ada jaminan tidak akan terjadi perceraian ataukah kehidupan menjadi tentram. Sebab, bisa saja terjadi diluar pengetahuan dan kemampuan manusia dalam membina rumah tangga.
Definisi wali, yang termasuk wali dalam masalah ini adalah ayah, washinya, kerabat dekat yang mendapat bagian ashabah, mu’tiq (orang yang memerdekakan budak), sulthon, malik. menurut hanafiyah kerabat dekat yang mendapat bagian ashabah bukan termasuk syarat akan tetapi dia di dahulukan, dan apabila dia tidak ada maka perwalian pindah kepada zawil arham (kerabat). urutan wali dalam pernikahan, menurut hanafiyah: asabah bi an nasab, atau bi assabab seperti mu’tiq (orang yang memerdekakan budak) sepertihalnya orang yang memerdekakaan jariah (gadis kecil) maka dia berhak menjadi walinya……, secara urutan yaitu asabah bin nasab, asabah bi sabab, zawil arham, sulthon, qadhi.
Sedarngkan menurut Malikiah: urutan wali dalam pernikahan adalah: wali mujbir yaitu ayah dan washinya, malik, kemudian setelah wali mujbir yaitu anak laki-laki walaupun dihasilkan dari zina, kemudian anak laki-lakinya anak laki-laki, kemudian ayah (tidak mujbir) dengan syarat ayah dengan cara syar’i (dengan nikah yang sah), saudara laki-laki, saudara laki-lakinya seayah. Waqiila: saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anaknya saudara laki-laki sekandung, anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah, kemudian kakek dari ayah, paman sekandung, anaknya paman, paman dari saudara laki-laki (am liakh), anaknya paman dari saudara laki-laki (ibnu am liakh), ayahnya kakek, pamanya ayah….,kemudian perwalian pindah kepada hakim akan tetapi dengan syarat tidak di perkenankan meminta bayaran maka apabila memita bayaran tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan terebut.
Sedangkan menurut Syafi’iyah: urutan wali dalam pernikahan adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), ayahnya kakek, apabila ada dua kakek maka di dahulukan yang lebih dekat, saudara laki-laki sekandung, ayah dari saudara seayah (ab li ab), paman sekandung, paman dari ayah, anaknya paman yang sekandung, anak laki-lakinya ayah. Adapun yang di maksud dengan paman termasuk juga didalamnya pamanya perempuan dan juga paman ayahnya serta paman kekeknya. Baru setelah itu mutiq (yang memerdekakan budak) apabila laki-laki, kemudian ashabahnya jika ada, dan yang terakhir adalah hakim.
Menurut Hanabilah: urutan wali dalam pernikahan adalah ayah, washinya (yang meniggalkan warisan) ayah setelah sepeninggalnya, hakim jika diperlukan. (mereka ini adalah wali mujbir). Kemudian hak perwalian berpindah kepada yang paling dekat.
Urutan asabah yaitu: ibnu al mar’ah apabila dia punya anak laki-laki walaupun dihasilkan dari zina. Kemudian anak laki-lakinya anak laki laki walaupun kebawah.
F. Kesaksian (الشهادة )
Para ulama empat sepakat bahwa saksi (dua orang saksi) adalah merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits riwayat ‘Aisyah:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل (رواه الدار قطني وابن حبان )
demikian juga dalam riwayat yang lain dari Aisyah: tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil (H.R Addaru Quthni dan Ibnu Hibban)
لا بد في النكاح من أربعة : الولي, والزوج, والشا هدين (رواه الدار قطني عن عائشة)
dalam riwayat yang lain riwayat at Tirmidzi dari Ibnu Abbas dari Rasulullah saw. : tidak boleh tidak dalam suatu pernikahan empat hal: yaitu wali, suami dan dua orang saksi
البغايا اللاتي ينكحن أنفسهن بغير بينة
Artinya: Perempuan pelacur adalah wanita yang menikahkan dirinya dengan tidak menghadirkan saksi.
Demikian pentingnya kesaksian dalam pernikahan karena hal tersebut bisa menjaga hak istri dan anak supaya ayah (calon ayah) tidak berbuat curang sehingga nasab calon anak tersebut bisa di nasabakan kepada ayahnya, selain itu juga bisa menghindarkan tuduhan/ sengketa dari kedua pengantin tersebut.
-permasalahan-
Pendapat ulama tentang apakah disyaratkan saksi dalam pernikahan?
1. Kelompok pertama (Ibnu Abi Laila, Abi Tsaur dan Abi Bakar al Asham), tidak di syaratkan saksi dalam pernikahan, nikah sah walaupun tidak ada seorangpun kecuali calon suami dan istri.
Argumen dalil kelompok pertama,
Al Qur’an: an Nisa’ ayat 3:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”.
An nur 32:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan”.
Wajh dilalah:
Kedua ayat Al Qur’an diatas berlaku muthlak dan tidak ada qayyid syahadah ataupun yang lainya, sehingga ada dalil yang mengkayyidiya. Sedangkan dalil hadits yang menunjukan tentang diwajibkanya saksi dalam pernikahan tidak sesuai untuk meng-qayyidi ayat Al Quran tersebut karena hadits tersebut adalah hadits ahad.
2. Kelompok kedua (jumhur ulama, dan sebagian besar ulama) mengatakan bahwa saksi merupakan suatu yang wajib dalam pernikahan.
Argumen dalil kelompok kedua:
Hadits pertama, Rasulullah saw. bersabda :
(لانكاح إلا بشهود)
Artinya: tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya saksi
Hadits kedua:
(لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل)
Artinya: tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil dan apabila pernikahan terjadi dengan tanpa adanya hal tersebut maka hukumnya batal (tidak sah).
Wajh dilalah:
Dari kedua hadits diatas menunjukan peniadaan suatu pernikahan apabila tidak di hadirkan saksi, maka dari itu pernikahan tidak sah apabila tidak dihadiri saksi.
3. kelompok ketiga (yang rajih menurut syiah imamiyah) mengatakan: saksi tidak disyaratkan dalam pernikahan apabila istri baligh, kemudian juga diterangkan dalam tazkirah al fuqaha: “disunahkan meramaikan pernikahan dan menghadirkan saksi, dan persaksian bukanlah syarat sahnya akad menurut ulama kami (syiah)”.
Pendapat yang rajih/ pendapat penulis:
Menurut penulis dalam masalah ini yang paling rajih adalah pendapat kelompok kedua yaitu pendapat jumhur ulama, yang mengatakan bahwa saksi merupakan suatu yang wajib dalam suatu pernikahan. Hal ini dikarenakan hadits yang menjelaskan tentang keberadaan saksi dalam pernikahan adalah hadits yang masyhur dan bisa di gunakan untuk mengqayyidi muthlaknya al Qur’an.
-permasalahan-
Apakah kesaksian dua orang cukup sebagai i’lan/ pemberitahuan kepada khalayak ramai, Walaupun mereka saling berwasiat untuk menyembunyikan/ merahasiakanya?
1.pendapat pertama menurut sebagian ulama’ (diantaranya Abu Hanifah) mengatakan bahwa syahadah cukup sebagai i’lan.
Argumen dalil kelompok pertama adalah: Hadits Rasulullah saw.
(لا نكاح الا بشهود ) و (لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل )
Artinya: tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan dihadirkanya saksi dan tidak sah suatu pernikhan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.
Wajh dilalah:
Pada hadits diatas telah terpenuhi “syahadah” dan itulah yang di kehendaki. Dan jelas dengan adanya dua orang yang melaksanakan akad dan dua orang saksi maka tercapailah maksud dari “ilan”/ memberitahukan. Karena sesuatu yang dianggap rahasia tidak mungkin sampai diketahui oleh empat orang.
2. pendapat kedua (pendapat masyhur dari pendapat Imam malik) mengatakan syahadah/ kesaksian bukan merupakan syarat berlangsungnya suatu akad. Akan tetapi yang disyaratkan adalah ilan/ mengumumkanya. Dan syahadah tidak cukup di jadikan sebagai ilan. Apabila kedua saksi saling berwasiat (bersepakat) untuk merahasiakan maka tidak ada akad (tidak terjadi akad).
3. pendapat ketiga (pendapat Imam Malik) mengatakan bahwa ‘ilan/ mengumumkan cukup untuk melangsungkan sebuah akad tanpa membutuhkan syahadah secara mutlak.
4. penadapat keempat (syiah ja’fariyah) mengatakan bahwa isyahad/ penyaksian hukumnya sunah (untuk menghindari ingkar), ilan hukumnya sunah dalam sebuah akad.
G. Nikah Sirri
Nikah sirri adalah: yaitu pernikahan yang disembunyikan/ ditutup-tutupi, dimana zauj (suami) mengatakan kepada saksi untuk merahasiakan tentang pernikahanya dengan seroang wanita kepada khalayak ramai walaupun dari keluarga sendiri.
-permasalahan-
Beberapa pendapat ulama’ tentang nikah sirri:
1. Pendapat pertama Malikiyah: nikahnya tidak sah (يفسخ نكاح السر )
2. Pendapat kedua Malikiyah: nikahnya sah akan tetapi hukumnya makruh
3. Pendapat ketiga (pendapat syadz/ jarang terdengar, pendapat yang lemah) dari Abu Laila Abu Tsaur dan Abu Bakar al A’sham mengatakan bahwa: saksi dalam pernikahan bukan merupakan syarat dan tidak harus ada. Hal ini dikarenakan dalam al Qur’an tidak menerangkan tentang hal ini: dalil kelompok tiga adalah sebagai berikut:
Al Qur’an surat an Nisa’ ayat 3:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”.
Al Qur’an surat an Nur ayat 32:
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu”
Wajh dilalah: dalil-dalil dari ayat Al Qur’an berlaku kemuthlakanya maka dari itu hadist-hadits tidak bisa memuqayadkanya.
4. Pendapat keempat (madzhab Syiah Imamiyah) mereka mengatakan: bahwa mensyiarkan nikah dan adanya saksi merupakan suatu yang sunah dalam pernikahan. Dan pendapat ini adalah bathil, karena hadits yang menerangkan tentang isyhad sangat masyhur, maka hadits tersebut sah untuk memuqayyadkan mutlaknya al Qur’an.
H. Waktu Isyhad
Ada dua pendapat tentang waktu isyhad (persaksian):
1. Pendapat pertama (jumhur selain malikiyah)
Kelompok pertama berpendapat bahwa: syahadah harus, lazim terjadi ketika akad berlangsung, supaya saksi memperdengarkan ijab dan kabul ketika aqad berlangsung. Apabila akad sudah terjadi sementara dilangsungkan tanpa adanya saksi maka hukumnya fasid.
Dalil argumen kelompok pertama adalah:
Hadits:
(لانكاح إلا بولي وشاهدي عدل)
Artinya: tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.
2. Pendapat malikiyah
Kelompok kedua mengatakan bahwa: syahadah merupakan syarat sahnya suatu pernikahan, baik setelah pengesahan akad atau setelah akad sebelum dukhul (menggauli istri), kelompok ini mengatakan bahwa syahadah hanya disunahkan ketiaka akad sedang berlangsung, apabila kesaksian tidak sah ketika akad atau sebelum dukhul (menggauli) maka akad tersebut hukumnya fasid. Dan apabila dia menggauli istrinya maka dia telah berbuat maksiat. Karena menurut kelompok ini bahwa syahadah merupakan syarat diperbolehkanya menggauli wanita, bukan merupakan sahnya akad. Dan ini merupakan bahan perdebatan antara malikiyah dan yang lainya.
I. Hikmah Isyhad (Persaksian)
Hikmah dari adanya isyhad (persaksian) dalam suatu akad pernikahan adalah untuk menghilangkan sangkaan dan tuduhan ataupun sengketa dari suami istri. Selain itu juga untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, karena biasanya sesuatu yang halal biasa dikerjakan secara terang-terangan, akan tetapi apabila sesuatu itu haram maka di kerjakan secara sembunyi-sembunyi.
Maka dari itu Allah swt menjadikan sunah hukum mensyiarkan pernikahan selain itu juga dengan mengadakan walimah, hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits rasulullah saw:
أعلنوا االنكاح واضربوا عليه بالغربال ) أي الدف (أعلنوا هذالنكاح واجعلوه في المساجد واضربوا عليه بالدفوف وليولم أحدكم ولو بشاة فإذا خطب أحدكم إمرأة وقد خضب بالسواد فليعلمها لا يغرها
Artinya: umumkanlah/ ramaikanlah (pernikahan) dan pukulah dengan beduk, ramaikanlah pernikahan ini di dalam masjid dan pukulkanlah beduk, dan adakanlah walimah walau hanya dengan seekor kambing…………
J. Syarat-syarat syahid ( saksi)
1. Berakal
2. Baligh
3. Ta’addud (lebih dari satu) hal ini sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulullah saw. (لانكاح إلا بولي وشاهدي عدل) ulama hanafiyah berkomentar: apabila ada seseorang mengutus kepada orang lain untuk menikahi anak perempuanya yang masih kecil dan ayah dari gadis kecil itu hadir kemudian dia menghadirkan satu orang saksi lagi selain dirinya maka nikahnya sah, karena ayah dari gadis tersebut itu sendiri yang melangsungkan akad dan berada dalam satu majlis, karena orang yang menikahkan tersebut juga dianggap sebagai saksi.
Akan tetapi apabila ayah dari gadis tersebut tidak ada maka pernikahan tersebut tidak diperbolehkan , Karena berbeda majlis dan tidak memungkinkan bagi ayah gadis tersebu t untuk langsung menjadikanya sebagi saksi.
Apabila seorang ayah menikahkan anak gadisnya yang sudah baligh dengan menghadirkan satu orang saksi, dan apabila gadis tersebut hadir di tempat akad maka hukumnya boleh, akan tetapi apabila gadis tersebut tidak berada di tempat terjadinya akad maka tidak boleh.
4. zukurah (laki-laki)
-permasalahan-
a. Syarat ini menurut jumhur (selain hanafiyah), yaitu dua orang laki-laki, tidak sah persaksian seorang perempuan atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan.
b. Ulama Hanafiah: membolehkan persaksian seorang laki-laki dan dua orang perempuan dalam akad nikah sebagaimana halnya dalam persaksian masalah amwal (harta benda, materi), akan tetapi persaksian wanita didalam masalah hudud, qisas hal ini dikarenakan adanya syubhah (kesamaran) atau karena dimungkinkanya ada unsur lupa, lalai, dan tidak adanya ketetapan, hal ini dikarenakan “أن الحدودتدرأباالشبهات”
5. Merdeka
-permasalahan-
a. syarat ini di kemukakan oleh jumhur (selain ulama hanabilah) karena hamba sahaya tidak bisa memiliki dirinya sendiri, karena itu dia tidak bisa menjadi saksi.
b. ulama hanabilah mengatakan: bahwa persaksian dua orang hamba sahaya adalah sah, hal ini dikarenakan tidak ada ayat Al Qur’an, hadits rasulullah saw. dan juga ijma’ yang menerangkan tentang tidak diperbolehkanya kesaksian hamba sahaya. Anas bin Malik berkata: saya tidak pernah melihat seseorang yang menolak kesaksian dari seorang hamba sahaya, dan Allah swt menerima persaksian setiap umat dihari qiamat, tapi mengapa di dalam masalah ini tidak? Dan dalam hadits diriwayatkan dari Nabi saw. persaksian hamba sahaya diterima selama dia adil dan tsiqah (dapat dipercaya).
6. Adil (walaupun secara dhahirnya) –maksudnya istiqamah dan mengikuti ajaran agama-walaupun secara dhahir dan tidak di ketahui apa yang didalam hatinya.
-permasalahan-
a. menurut jumhur-dalam riwayat yang rajah dari Imam Ahmad- dan sahih menurut Imam Syafi’i, tidak sah pernikahan yang disaksikan oleh orang fasik, hal ini berdasarkan hadits”لانكاح إلا بولي وشاهدي عدل)) Karena kesaksian merupakan salah satu bentuk penghormatan dalam pernikahan, sementara orang fasik merupakan golongan orang yang hina maka dia tidak layak menjadi saksi dalam pernikahan. (pendapat ini adalah pendapat yang rajah).
b. menurut hanafiyah: adil bukan merupakan syarat dalam persaksian, pendapat ini juga pendapat orang-orang syiah, dan mereka berpendapat bahwa adil, menjadikan orang yang adil sebagai saksi dalam pernikahan hukumnya adalah sunah.
7. Islam
Menurut hanafiyah apabila seorang muslim menikah dengan dzimmiyah (wanita zimmi) dan disaksikan oleh dua orang zimmi maka pernikahanya sah, karena persaksian ahli kitab terhadap sesamanya hukumnya adalah sah, akan tetapi menurut ulama selain hanafiyah hukumnya tidak sah, karena suaminya muslim maka dia harus mempersaksikan pernikahanya dihadapan orang-orang muslim.
Sebab di syaratkanya saksi seorang muslim dikarenakan akad nikah merupakan akad yang sangat urgen dan bisa di katakan sebagai akad agama (karena begitu pentingnya).
8. Melihat (noramal panca indra)
-permasalahan-
a. menurut as Syafiiyah normal panca indra merupakan salah satu sayarat bagi saksi, hal ini dikarenakan agar supaya bisa membedakan antara mudda’i (yang menuduh) dan mudda’a alaih (yang dituduh).
b. sedangkan menurut jumhur noramal panca indra bukanlah merupakan syarat bagi saksi, dalam artian sah hukumnya persaksian seorang yang buta apabila dia bisa mendengar suaranya orang yang sedang melakukan akad dan bisa membedakan suara masing-masing.
9. Bisa mendengar ucapanya orang yang sedang melakukan akad dan faham terhadap apa yang dimaksudkan.
Kebanyakan ulama mensyaratkanya, maka tidak sah kesaksianya orang yang tidur atau orang yang tuli, demikian pula tidak sah kesaksianya orang yang mabuk yang tidak ingat, tidak sadar apa yang didengar dan tidak ingat pula setelah sadar. Tidak sah persaksian orang selain arab apabila yang diakadkan menggunakan bahasa arab sementara dia tidak faham bahasa arab, karena tujuan dari persaksian tersebuat adalah faham terhadap perkataan dua orang yang melakukan akad. Pendapat ini adalah pendapat yang rajih menurut hanafiyah.
K. Kesimpulan
Dari beberapa penjelasan tentang tema “kedudukan wali dan saksi dalam pernikahan” dapat penulis simpulkan secara garis besar bahwa keberadaan wali dan saksi dalam suatu pernikahan sangatlah urgen hal ini dikarenakan pernikahan bukanlah suatu ikatan ataupun hubungan antara laki-laki dan perempuan yang dibatasi dengan waktu tertentu akan tetapi pernikahan ditujuakan untuk selamanya, maka dari itu agar suatu akad pernikahan tersebut tidak dipermainkan sepihak oleh kelompok tertentu dengan demikian Islam memberikan tata cara yang bisa mengantarkan kepada keadilan terutama bagi pihak wanita supaya tidak mendapat perlakuan yang kurang baik dari laki-laki, maka dari itu untuk menjaga kesucian ikatan pernikahan tersebut dan agar supaya tidak ada kebongan-kebohongan dalam akad pernikahan, perlu adanya wali sebagai pendamping pihak perempuan dan juga saksi dari masing-masaing pihak yang berfungsi sebagai bukti bahwa kedua belah pihak (pengantin laki-laki dan perempuan sudah melangsungkan akad nikah). Dengan demikian, hemat penulis eksistensi wali dan saksi dalam pernikahan merupakan suatu yang harus ada dalam sebuah akad pernikahan.
Wallahu ‘Alamu bi as Shawab
Ciputat, 07 Nopember 2009
Daftar Pustaka
1. Abdullah bin Abdurahman Al Bassam, Taudhih al Ahkam min Bulugh al Maram, Muassasah al Khidmat at Thiba’iyah Hasib Dirgham wa Auladuhu, th 1414h/ 1994 m, Cet Ke 2.
2. Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘ala Madzahibil arba’ah, Dar al Hadits-Cairo, th 2004 m/1424 h.
3. Abu Ishaq As Syatiby, Al Muwafaqat fi Usul al-Syariah, jilid III (Beirut:Dar al-Marifah li al Thaba’ah wa al Nasyr, 1975).
4. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Usul Fiqh (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah, 1968).
5. As Shan’ani, Subu asl Salam, Juz III, Riyadh: al Jamiah Al Imam Muhammad ibn Su’ud al Islamiyah, cet ke-4, 1408 H
6. As Syaukani, Nail al Authar, Maktabah As Syamilah
Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Arabiy, tt.)
7. Badran Abu al Ainain Badran, Al Fiqhu al Muqaran lil ushul as Syakhsiah baina al Madzahib al Arba’ah wa al Madzahib al Ja’fari wa al Qanun, Juz I, Dar an Nahdhah al Arabiyah li at Tiba’a wa an Nasyr, Bairut.
8. Kamal Mukhtar, Asas-asas hukum Islam tentang perkawinan, cet ke 3-Jakarta-Bulan Bintang, 1993.
9. Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, Bidayatul Mujtahid, juz II (Semarang:Maktabah Usaha Keluarga, tt.)
10. Mughni Al Muhtaj, Maktabah as Syamilah, Bab Nikah.
11. Sarlito Wirawan Sarwono.”memilih pasangan dan merencanakan perkawinan” dalam bina keluarga No.99 (Jakarta:BKKBN, 1981).
12. Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz II (Beirut:Dar al-Kitab al-Arabiy, 1973).
13. Problemantika Hukum Islam Kontemporer, editor: Huzaimah Tahido Yanggo Dan HA. Hafiz Anshary AZ, Pustaka Firdaus, cet ke 4, Nopember 2002.
14. Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, cet pertama, 1992.
15. Wahbah Zuhaily, al Fiqhu al Islami wa Adillatuhu (Dar Fikr Damaskus-Syiria, cet ke 10 th 2007 m/ 1428 h.

Tidak ada komentar: